Bus TransJakarta (atau yang sering salah dipersepsikan oleh sebagian besar
warga Jakarta sebagai busway) bagi saya merupakan
tempat pembelajaran yang sangat riil tentang kehidupan. Kendaraan umum ini
seolah menjadi kaca display yang menampilkan berbagai jenis individu dengan keunikannya
masing-masing. Singkatnya, segala macam sifat manusia bisa kita temukan selama
menggunakan jasa transportasi satu ini.
Mulai dari ramainya
gerombolan anak remaja dengan berbagai keceriaannya (jadi ingat dulu saya dan
teman-teman saya pernah ditegur oleh penumpang lain dan supir bus saking
berisiknya).
Egoisnya anak muda
atau pria yang menikmati kenyamanan memperoleh tempat duduk dan tidak mau
memberikan tempatnya bagi wanita, ibu hamil, atau manula.
Kemesraan pasangan
sejoli di mana tangan sang pria tidak pernah lepas dari pasangannya untuk
menjaga agar jangan sampai terpisah atau terjatuh.
Sampai dengan hal
menggelikan yang mungkin tidak sengaja kita curi dengar dari obrolan orang
lain.
Selain itu, saya juga
bisa menikmati aktivitas yang dikerjakan penumpang lain. Mungkin aneh jika
disebut menikmati. Tapi memang itulah yang biasanya saya lakukan. Mencermati,
mengamati, menikmati.
Mulai dari remaja yang sibuk SMS-an, BBM-an, menulis status, atau
mendengarkan lagu lewat earphone.
Orang yang larut dalam
buku yang sedang dibacanya.
Pekerja yang berpakaian rapi dan sibuk dengan smartphone-nya.
Orang-orang yang saling berbincang, tertidur, mengamati jalan, or
simply just do nothing.
That’s why bus TransJakarta (atau mungkin kendaraan umum lain) menjadi tempat
yang tepat untuk mengamati karakter orang lain, menemukan sesuatu yang baru,
atau bahkan untuk belajar tentang kehidupan.
Belajar? How can?
Dengan
menggunakan transportasi umum, kita belajar untuk mengantri, menunggu giliran dengan
tertib, menghargai orang lain, toleransi, simpati, dan banyak aspek penting
dalam kehidupan lainnya.
Sekaligus membuat kita
sadar kalau kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Ada banyak orang dengan
berbagai kepribadian dan sifat berbeda. Itulah sebabnya dibutuhkan rasa
pengertian dan toleransi.
Karena kalau kita
tidak memiliki hal tersebut, maka saat kaki kita tidak sengaja terinjak oleh
orang lain, maka bisa berakhir di kantor polisi dan berbuntut panjang. Tidak
sengaja tersenggol, terinjak, terdorong, dan lain sebagainya itu hal yang
wajar. Prinsip saya, kalau tidak mau tersenggol, ya, jangan naik kendaraan
umum. Naik kendaraan pribadi saja. Atau yang lebih ekstrim lagi, pakai baju
berduri. Dijamin, tidak akan ada yang menyenggol karena sudah keburu luka-luka
duluan.
Begitu pula dengan
masalah memberikan bangku yang kita duduki kepada orang lain yang lebih
membutuhkan. Wanita yang lebih tua, ibu dengan anak kecil apalagi yang sedang
mengandung, manula, adalah pihak-pihak yang WAJIB kita berikan tempat duduk. Di
luar itu, kalau jarak tempuh kita tidak terlalu jauh atau kita tidak sedang
kelelahan, apa salahnya memberikan tempat duduk untuk orang lain, tanpa
memikirkan untung-ruginya. Berdiri selama beberapa saat tidak akan membuat kaki
kita patah, atau tulang kita remuk. Selagi masih diberi kesempatan untuk bisa
berdiri, dengan tubuh yang sehat dan anggota badan yang lengkap, kenapa tidak
kita coba syukuri?
Saat kebetulan naik
bus TransJakarta, cobalah amati sekeliling kita. Pasti akan ada saja hal yang
membuat sebal, membuat kita tertawa terbahak-bahak, bahkan mungkin menjadi
sarana untuk instrospeksi diri.
Karena belajar tidak
hanya bisa dilakukan di kelas. Setuju? Kita bisa belajar di mana saja, melalui
setiap hal yang terjadi dalam hidup kita, mulai dari yang sederhana sampai yang
paling kompleks sekalipun. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk belajar.
Picture : yustisi.com
No comments:
Post a Comment