26 December 2011

Untuk Dilindungi, Bukan Disakiti



Belakangan, berbagai media ramai memberitakan soal pembantaian orangutan di Kalimantan. Miris rasanya, kalau primata pintar yang enggak berdosa ini malah jadi korban akibat keserakahan manusia.

Orangutan hanya terdapat di Indonesia dan Malaysia, khususnya di hutan hujan Pulau Sumatera dan Kalimantan. Hewan ini termasuk golongan kera besar yang terbagi dalam dua spesies, yakni orangutan Sumatera (dengan nama latin Pongo abelii), dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Orangutan memiliki kekerabatan yang dekat sama manusia, karena kesamaan DNA sebesar 96,4%.

Orangutan hidup di atas pohon-pohon besar, dan jarang turun ke tanah. Mereka rajin berpindah dari satu pohon ke pohon lain (brachiating). Saat berpindah inilah, biji dari buah yang mereka makan berjatuhan dan menyebar di tanah, kemudian menjadi cikal bakal pohon-pohon baru. Itulah sebabnya orangutan disebut sebagai penjaga ekosistem hutan.

Orangutan ditetapkan sebagai hewan yang wajib dilindungi oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), karena jumlah populasinya yang semakin mendekati kepunahan. Mereka membutuhkan waktu reproduksi yang terbilang lama untuk ukuran hewan. Orangutan betina biasanya melahirkan setiap 7-10 tahun sekali, dengan lama kandungan mirip manusia, 8.5 sampai 9 bulan. Setiap kali mereka melahirkan, hanya akan ada satu bayi orangutan. Umur orangutan di alam liar bisa mencapai 45 tahun, dan sepanjang hidup, mereka cuma bisa punya tiga anak.

Setelah proses kelahiran, bayi orangutan akan tinggal bersama induk mereka sampai umur enam atau tujuh tahun. Hubungan antara bayi orangutan dan induk mereka sangat dekat, karena sifat protektif dari sang induk. Selama masih tinggal bersama induk mereka, mereka akan diajarkan banyak hal, tentang bagaimana harus bertahan hidup di alam bebas.

Ancaman orangutan datang dari keserakahan manusia. Habitat mereka semakin sempit karena kawasan hutan hujan yang selama ini mereka tinggali dijadikan lahan kelapa sawit dan pertambangan. Pohon-pohon di hutan juga banyak ditebang buat diambil kayunya.

Orangutan kehilangan 80% wilayah habitatnya dalam waktu kurang dari 20 tahun. Mereka juga sering disakiti bahkan dibunuh para petani karena dianggap sebagai hama. Padahal, mereka cuma mau cari makan, karena makanan mereka di hutan udah enggak ada lagi.

Saking protektifnya induk orangutan terhadap anak mereka, para pemburu yang enggak punya hati itu tega membunuh induk orangutan, supaya bisa mengambil anak mereka dan menjualnya secara ilegal.

Kasus pembantaian orangutan di Kalimantan

Pembantaian orangutan secara massal di Desa Puan Cepak, Kutai Kertanegara, Tenggarong, Kalimantan Timur sudah dilakukan sejak tahun 2008, tapi beritanya baru ramai dibicarakan sekarang. Banyak ditemukan bangkai orangutan dalam kondisi mengenaskan, akibat disakiti oleh masyarakat sekitar atas perintah dari PT Khaldea Agroprima Mandiri. Baru-baru ini juga ditemukan fakta lain yang lebih menyedihkan, bahwa pembantaian tersebut bukan hanya dilakukan oleh manusia, tapi juga anjing pemburu yang terlatih.

Pemburu akan diantar oleh anjing pemburu ke lokasi yang terdapat banyak orangutan. Orangutan yang ada di kebun sawit akan dikejar oleh anjing pemburu. Kalau kabur, mereka akan ditembak dengan senapan angin atau ditombak sampai mati. Mayat orangutan difoto sebagai bukti ke perusahaan. Lewat foto itulah, mereka mendapat gaji 1,2 juta per bulan, plus 1 juta rupiah kalau berhasil membunuh orangutan. Benar-benar kejam dan enggak punya perasaan!

The real hero
Di balik kekejaman dan ketidakadilan tersebut, untungnya masih ada Biruté Galdikas (65), perempuan asal Jerman yang concern banget sama nasib orangutan. Beliau udah menulis beberapa buku tentang kelangkaan orangutan. Galdikas sampai di Kalimantan saat berumur 25 tahun. Sejak itu, beliau terus melakukan berbagai upaya untuk memencegah kepunahan orangutan dengan membangun pusat rehabilitasi. Bukan cuma itu, beliau juga membuat film dokumenter berjudul Born to Be Wild 3D (April 2011).

Trivia

- Tinggi orangutan sekitar 1.25-1.5 meter, sementara beratnya sekitar 50-90 kg (jantan) dan 30-50 kg (betina).
- Orangutan suka makan durian, madu, dan jamur.
- Orangutan bisa berjalan dengan dua kaki, tapi enggak bisa berenang.
-Orangutan adalah hewan semi-soliter, yang artinya, mereka enggak hidup dalam kawanan besar. Orangutan jantan biasanya ditemukan sendirian, sementara yang betina bersama dengan beberapa anaknya.
-Orangutan jantan bisa membuat panggilan jarak jauh yang terdengar sampai radius 1 km karena punya kantung tenggorokan yang besar. Gunanya untuk mengawasi arealnya, memanggil orangutan betina, ataupun mencegah gangguan dari orangutan jantan lain.
- Predator terbesar orangutan antara lain macan tutul, babi, buaya, ular phyton, elang hitam, dan... manusia!
- Menurut data WWF, terjadi penjualan orangutan ke Taiwan mencapai 1000 ekor antara tahun 1985-1990.

Dimuat di Majalah kaWanku No. 114/2011


Picture : orangutanphotos.blogspot.com | dok : kaWanku

07 December 2011

Kegagalan = Awal dari Segalanya



Hari ini, lagi-lagi saya mendapatkan naskah novel yang dikirimkan kembali dari penerbit, lengkap dengan surat pernyataan bahwa naskah saya belum layak untuk diterbitkan. Entah sudah keberapa kalinya hal seperti ini terjadi. Tapi setidaknya, hari-hari penuh ketidakpastian itu telah usai. Saya tidak perlu lagi menandai hari demi hari yang terlewati di kalender meja belajar tentang nasib naskah saya.
Sejak awal mengirimkan naskah tersebut, saya tau pasti hanya akan ada dua jawaban. Diterbitkan atau dikembalikan secara utuh (baca: ditolak). Bohong kalau saya mengatakan saya baik-baik saja. Tidak, saya tidak sepenuhnya baik-baik saja. Tentu, ada rasa kecewa yang mendera. Saya masih manusia normal yang tidak luput dari emosi. Tapi rasa kecewa itu tidak akan menghentikan perjuangan saya.
Kalau Thomas A. Edison saja harus mengalami kegagalan sampai 9.998 kali, baru akhirnya berhasil dan bahkan namanya dikenang sampai saat ini, kenapa saya harus berhenti saat baru mengalami kegagalan 3 kali?
Kalau Stephen King saja harus mengalami penolakan berkali-kali atas naskah yang ia kirimkan, sampai membuatnya memakukan surat-surat penolakan tersebut ke dinding rumah sebagai motivasi pribadi, kenapa saya harus behenti berkarya dan belajar? (cerita mengenai Stephen King bisa dibaca di sini).
Ibu saya sering sekali menasihati saya untuk tidak mudah menyerah saat mengalami kegagalan. “Hanya manusia sakti yang tidak pernah sekalipun mengalami kegagalan dalam kehidupan mereka. Bahkan orang terhebat yang dikenal pun, suatu saat pernah mengalami kegagalan. Bedanya, mereka memilih untuk terus berjuang dan memperbaiki diri, bukannya meratapi kegagalan tersebut terus-menerus.” Itulah kalimat yang selalu dipesankan oleh ibu saya.
Karena kegagalan lah, manusia baru bisa menyadari arti penting perjuangan dan kerja keras. Karena kegagalancpula lah, manusia tau bagaimana rasanya menikmati dan menghargai keberhasilan ketika saatnya tiba.
Saya sedang mengalami kegagalan kali ini. Tapi saya tidak akan pernah mau menjadi orang yang gagal. Orang gagal yang hanya mampu berkubang dalam rasa penyesalan dan rendah diri. Saya bukan tipe orang seperti itu. Saya akan terus berusaha, mengeluarkan kemampuan terbaik saya. Memperbaiki kesalahan yang menyebabkan kegagalan sebelumnya, dan bekerja dengan lebih baik lagi.
Perjuangan saya masih panjang. Masih akan ada banyak tikungan berbahaya, jalanan bergelombang, maupun hambatan dan rintangan lainnya. Tapi dengan terus mengingat bahwa akan ada akhir dari semua perjalanan, saya akan terus memacu diri untuk mencapai batas akhir tersebut. Batas akhir yang akan mengarah pada keberhasilan meraih impian saya.
‘Kegagalan bukan akhir segalanya’ bukan hanya ungkapan penyemangat semata. Karena kenyataannya, kegagalan justru adalah awal dari segalanya. Awal dari perjuangan yang lebih keras, dan awal yang akan membawa seseorang semakin dekat dengan keberhasilan.
Picture : orangeandkalamansi.tumblr.com

27 November 2011

Dare to Dream



Sewaktu masih kecil, ketika ditanya tentang cita-cita, kita akan berebut memilih antara dokter, astronot, presiden, tentara, dan sederet profesi 'besar' lainnya. Tapi beberapa tahun setelahnya, ketika kembali ditanyakan pertanyaan yang sama, umumnya kita akan diam sejenak, nampak berpikir keras, menimbang-nimbang, dan pada akhirnya menjawab "Belum tau. Lihat saja nanti." atau mungkin jawaban dengan nada kurang tertarik lainnya.

Sebagian orang mungkin memang sudah tau apa cita-cita mereka dengan pasti. Tapi kebanyakan mengalami masalah saat diminta membuat keputusan ingin menjadi apa mereka saat dewasa nanti.

Ke mana semua optimisme masa kecil kita? Mimpi-mimpi yang terdengar begitu naif, tapi justru membuat hidup menjadi begitu mengasikkan, begitu menantang untuk dihadapi. Ke mana perginya semua itu? Mengapa yang tersisa hanyalah diri kita dengan pikiran yang lebih rasional, namun terkurung dalam rasa pesimis dan ketakutan membuat rancangan masa depan dengan dagu terangkat?

Mungkin karena saat masih kanak-kanak, segala sesuatu terlihat begitu mudah dicapai, semudah menyelesaikan games? Mungkin karena seiring bertambahnya usia, semakin lamanya kita mencicipi berbagai pengalaman hidup, kita dilemparkan dari puncak menara impian kita ke tanah dengan sebuah pemikiran baru? Pemikiran bahwa dunia tidak seindah seperti yang selalu kita bayangkan dan harapkan ketika kecil?

Saya sering mendengar cerita pengalaman hidup orang muda yang sukses dalam karier mereka. Rata-rata memberikan jawaban yang sama untuk pertanyaan 'cara menjadi sukses'.
Berani bermimpi!

Itulah kunci utamanya. Karena impian-impian yang kita targetkan untuk dicapai dapat menjadi cambuk yang paling kuat. Menjadi reminder terbaik agar kita jangan sampai kehilangan optimisme masa kecil kita. Bahkan mimpi yang paling absurd (dengan catatan masih dapat diterima akal sehat) yang kita miliki sekalipun, dapat terwujud, seandainya kita memiliki kemauan keras untuk meraihnya.

Contohnya saja, misalnya di saat keluarga kita baru saja mengalami kebangkrutan. Bahkan uang jajan kita terpaksa dipotong. Kita juga diwajibkan untuk hidup sederhana dalam keprihatinan. Kemudian di saat itu kita bermimpi untuk memiliki rumah mewah di kawasan elit. Atau pelesir di atas kapal pesiar mewah mengelilingi Kepulauan Karibia.

Sah-sah saja! Kita bisa bermimpi apa saja! Jangan pedulikan ejekan orang lain. Jangan dengarkan kata-kata mereka yang menganggap kita gila. Karena secara ajaib, believe it or not, alam semesta akan berkonspirasi entah dengan cara apa, untuk membuat impian kita menjadi kenyataan. Tapi tentu saja selama kita meyakini mimpi tersebut dapat menjadi kenyataan, serta tidak lupa berdoa dan bekerja keras.

Begitu pula dengan cita-cita. Kalau kita memang memimpikan untuk menjadi dokter, maka kejarlah mimpi tersebut dengan rajin belajar, terutama mata pelajaran biologi-fisika-kimia. Saat memilih penjurusan di kelas XI, masuklah ke kelas IPA dengan nilai yang baik. Kalau kita bercita-cita ingin menjadi presiden, rajin-rajinlah membaca buku pengetahuan politik atau leadership. Bisa juga dengan rajin menonton berita atau bahkan bergabung dalam partai politik.

Tempuhlah berbagai macam cara-yang postif tentunya-demi menjadikan diri kita semakin dekat dengan cita-cita kita. Tapi yang terpenting adalah, cita-cita atau pekerjaan impian kita, haruslah sesuai dengan passion kita. Sehingga nantinya kita akan bekerja dengan hati, dengan penuh sukacita, tanpa paksaan apalagi hanya sekedar menjalankan kewajiban karena tuntutan profesi atau demi mencari nafkah.

Pertambahan usia bukan berarti mimpi-mimpi yang kita rajut seindah mungkin di kala kita masih kanak-kanak berangsur-angsur menghilang. Justru dengan menjadi semakin dewasa, kita memiliki lebih banyak lagi kesempatan untuk mewujudkan mimpi kita semaksimal mungkin. Tempuhlah jalan-jalan yang dapat membawa kita selangkah lebih maju, selangkah lebih dekat dengan mimpi kita.

Because, there's nothing impossible in this unpredictable world. Ora et labora, that's the key!

Picture : imonline.nl

25 November 2011

Menghargai Hal-hal Sederhana



Entah karena sudah dibiasakan sejak kecil, atau karena prinsip saya sendiri. Saya lupa dari mana dan sejak kapan, saya berprinsip untuk selalu menjaga dengan baik barang apapun yang saya pinjam dari orang lain. Tidak peduli apakah barang itu ditelantarkan atau disia-siakan oleh pemilik aslinya, saya akan menggunakannya dengan baik, dan mengembalikan dalam keadaan seperti semula.
Sederhana saja, karena saya sangat tidak suka kalau barang saya yang dipinjamkan kepada orang lain, dikembalikan dalam keadaan tidak seperti semula (baca: rusak atau hilang). Jangan mencubit kalau tidak mau mencubit. Begitu seharusnya, kan?
Karenanya, wajar saja kalau saya kesal bahkan marah saat barang saya dirusak terlebih dihilangkan oleh orang yang sudah saya pinjami. Dengan meminjamkan barang kepada orang lain, itu artinya saya percaya orang tersebut akan bertanggung jawab atas barang yang dipinjamkan.
Mungkin bagi orang lain akan terkesan berlebihan. Apalagi kalau barang tersebut tidak terlalu berarti bagi mereka, atau juga tidak terlalu mahal dari segi materi. Tapi yang tidak penting bagi mereka, belum tentu tidak penting bagi saya juga, kan?
Saya tidak mempersoalkan apakah barang tersebut mahal atau tidak. Yang saya persoalkan adalah tanggung jawab dari si peminjam. Saya bisa saja membeli barang tersebut kembali, tapi saya hanya ingin mereka menghargai saya, lewat barang saya yang mereka pinjam.
Tanggung jawab itu bisa dinilai dari barang-barang sederhana yang harganya tidak seberapa. Kalau mereka bisa menghargai dan menggunakannya dengan baik, maka itu tandanya kepercayaan saya kepada mereka akan bertambah. Saya tidak akan keberatan kalau selanjutnya mereka meminjam barang lain dari saya, dengan catatan mereka masih mempertahankan tanggung jawab tersebut dengan baik.
Tapi kalau sekali saja mereka merusak atau menghilangkan barang saja, wajar rasanya kalau saya menjadi ragu-ragu dan berpikir dua-tiga kali saat mereka ingin meminjam barang saya di kemudian hari. Tidak jarang hal ini sering membuat orang lain berpikir kalau saya suka membesar-besarkan masalah. Sejujurnya, saya hanya ingin dihargai, sama seperti hampir semua manusia di dunia ini.
Picture : ecetimucin.tumblr.com

22 November 2011

Tentang Pintu dan Januari



Ada satu bagian yang saya suka dari film The Tourist. Saat karakter Elise Ward yang diperankan oleh Angelina Jolie memperlihatkan gelangnya yang bergambar Roman God Janus, kemudian berkata,

“People have two sides. A good side, a bad side. A past, a future. And that we must embrace both in someone we love.”

Karena menyukai mitologi Yunani dan Romawi, saya mengetahui bahwa Janus adalahGod of doors, karena tugasnya menjaga pintu Surga.

Kuilnya yang terletak di Roma memiliki pintu yang akan terbuka di saat perang, dan tertutup di saat damai. Tapi ternyata, pintu tersebut lebih sering terbuka. Sampai akhirnya The Emperor Augustus menutup pintu kuil, karena berhasil membawa kedamaian bagi Kerajaan Romawi.

Sama seperti yang sudah dijelaskan di awal posting, Janus memiliki dua wajah, yang satu menghadap ke depan, dan satunya lagi ke belakang. Filosofinya tidak jauh-jauh dari tugasnya, yakni menjaga pintu. Pintu bisa membawa kita masuk ke sebuah ruangan, juga bisa membawa kita keluar.

Nama Januari diambil dari nama dewa ini, karena saat bulan Januari, kita bisa melihat mundur ke tahun sebelumnya, dan bersiap menyongsong tahun yang akan datang.
Jadi intinya, hidup manusia terdiri dari dua sisi: masa lalu dan masa depan. Keduanya saling terkait satu sama lain, dan sama-sama memegang peranan penting dalam perjalanan hidup seseorang.

Masa lalu harus selalu dijadikan pelajaran, supaya masa depan kita menjadi lebih baik lagi. Tapi bukan berarti kita terus-terusan berkubang dalam masa lalu. Bagaimana kita bisa menjalani hidup, kalau terus-terusan terpenjara dalam bayang-bayang masa lalu?

Picture : tumblr.com

15 November 2011

I'm Not a Morning Person, at All



Sebagian orang produktif di pagi atau siang hari, sementara sisanya produktif di malam hari. Saya termasuk yang sisanya itu.
Sejak kecil, saya sangat sulit dibangunkan untuk berangkat sekolah di pagi hari. Saya bangun pagi selama ini hanya karena kewajiban. Coba saja lihat jam berapa saya bangun saat sedang liburan. Selalu di atas jam delapan.
Karenanya, saya salut dengan contoh terdekat yang setiap hari saya jumpai, ibu saya. Tidak peduli malamnya tidur jam berapa, beliau selalu bangun maksimal jam setengah enam setiap hari-selama saya mengenalnya-entah untuk memasak makanan bagi kami sekeluarga, atau mengerjakan hal lain. Setiap kali liburan, saya selalu menyuruhnya untuk bangun lebih siang, tapi dia mengatakan bahwa bangun pagi sudah menjadi semacam kebiasaan.
Saya selalu percaya kalau memang ada sebagian orang yang terlahir untuk bisa produktif ketika malam hari. Karena itu, banyak orang-orang yang bekerja pada malam hari. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka melakukan hal tersebut karena tuntutan kewajiban semata, saya tetap yakin mereka memang lebih cocok menjadi ‘pekerja malam’, dalam arti positif. Tidak banyak orang yang bisa bertahan dengan pola hidup yang terbalik seperti kelelawar itu (tidur di siang hari dan terjaga sepanjang malam). Bahkan beberapa teman saya saja sudah akan langsung mengantuk begitu jarum jam menunjuk pukul sembilan malam. Itulah yang membuat saya meyakini teori ciptaan saya sendiri itu.
Entah karena sudah menjadi semacam kebiasaan atau karena faktor lain, saya merasa lebih nyaman beraktivitas di malam hari, mulai dari belajar, menonton, sampai menulis. Khususnya menulis, saya jarang sekali mendapatkan inspirasi ide cerita ketika siang hari. Hampir 90 persen ide itu muncul di malam hari. Kebanyakan bahkan dalam keadaan lampu kamar sudah dimatikan, dan saya sudah bersiap untuk tidur.
Malam dan ketenangannya seolah melahirkan sensasi magis yang bisa mendorong saya untuk lebih produktif dan bersemangat.
Aneh? Mungkin.
Terlepas dari semuanya itu, setiap manusia memiliki caranya sendiri untuk menjalani kehidupan dan berkarya. Tidak peduli pagi, siang, atau malam hari, yang terpenting adalah orang tersebut nyaman dengan apa yang dijalaninya. Itulah yang terpenting, bukan?
Picture : lostshadowland.tumblr.com

13 November 2011

Mau Maka Bisa



Selama ini saya selalu berpikir kalau saya tidak bisa memainkan alat musik dan menggambar, karena memang saya tidak berbakat. Tapi seiring berjalannya waktu, saya menyadari, kalau itu hanyalah excuse yang saya ciptakan sendiri. Karena akhirnya saya tahu, tidak ada kata 'tidak bisa' di dunia ini. Selama kita mau mencoba, mau berusaha, dan mau belajar, maka semua yang terasa tidak mungkin sekalipun, bisa kita lakukan.
Saat masih duduk di sekolah dasar, saya akan langsung berkeringat dingin, pusing, dan mual saat menghadapi ulangan matematika. Saya ingat betul, setiap ulangan umum matematika, saya akan meminta izin untuk pulang lebih awal karena sakit. Hari Jumat saya nobatkan sebagai hari sial, karena dari kelas satu sampai kelas enam SD (kecuali kelas empat), ulangan matematika setiap minggunya selalu jatuh pada hari itu. Sampai kemudian saya mengikuti kursus KUMON. Semenjak mengikuti kursus, saya malah merasa matematika adalah pelajaran yang sangat mengasikkan dan membuat penasaran untuk mencari cara penyelesaian dan hasilnya.
Tidak berhenti sampai di situ, setelah matematika, saat SMP, fisika lah yang menjadi 'musuh' saya. Sadar tidak bisa terus-terusan terpuruk dengan nilai di bawah rata-rata, saya berinisiatif untuk meminta supaya diikutkan dalam bimbingan belajar. Setiap pertemuan, saya bersama dengan dua orang teman yang juga sama-sama menjadi murid kursus, ditempa dengan berbagai soal latihan. Dari yang mulanya tidak memahami cara mengaplikasikan rumus, saya menjadi lebih mengerti dan nilai fisika saya pun mulai meningkat.
Sejak kecil, saya tidak mahir dalam pelajaran seni dan olahraga. Karenanya, saat ujian praktek kelulusan SMA, saya dibuat kalang kabut oleh dua pelajaran ini. Untuk tugas seni, karena saya mengambil seni musik (seandainya saja tidak ada kewajiban untuk memilih salah satu dari seni musik, seni rupa, atau seni tari, di mana saya tidak bisa ketiganya), kami diwajibkan untuk membuat lagu, dan menyanyikan lagu ciptaan kami masing-masing.
Mendengarnya, saya langsung lemas seketika. Bagaimana mungkin bisa menciptakan lagu, kalau tanda toge (baca: not balok) saja, saya tidak tahu untuk apa dan bagaimana membuatnya?!  Saya mencari bantuan ke sana kemari, sampai akhirnya, entah dari mana datangnya, saya tiba-tiba mendapatkan inspirasi nada dan lirik lagu. Selanjutnya, saya meminta bantuan teman saya untuk memainkan alat musik dan menuliskan not baloknya.

Selesai dengan seni, masih ada olahraga. Materi yang diujikan adalah servis bawah voli,lay up basket, dan roll depan. Geez! Dua minggu sebelum hari ujian, saya mulai meminta bantuan teman-teman saya yang jago dalam bidang yang diujikan. Tangan saya sampai merah dan bahkan bengkak karena divorsir untuk melakukan servis voli terus-menerus.

Dari lima kali kesempatan, kami dinyatakan lulus kalau bisa melakukan servis sebanyak tiga kali. Dan puji Tuhan, dengan support dari teman-teman saya, tiga servis penuh perjuangan itu pun berhasil. Begitu pula dengan lay up, saya bisa melakukannya dengan benar sebanyak tiga kali, dan dengan waktu di bawah batas maksimum.

Terakhir, tinggal roll depan. Selama menunggu giliran, saya mulai berkeringat dingin. Begitu tiba nama saya dipanggil, jeng jeng jeng, dua kali, dan nyaris lurus. Yeah, akhirnya saya berhasil melalui dua 'neraka' itu!
Dari pengalaman ini, saya hanya ingin menekankan, kalau tidak ada yang mustahil di dunia ini. Kita bisa melakukan hal yang selama ini tidak pernah terlintas dalam bayangan kita, selama ada niat. Segala hal di dunia ini bisa dipelajari. Jangan gunakan alasan tidak berbakat sebagai penghalang kita dalam melakukan sesuatu.
Jangan biarkan rasa pesimis menguasai diri kita. Beranikan diri kita untuk mencoba segala sesuatu, meskipun ribuan orang di luar sana meremehkan kita. Jangan pernah ragu untuk selalu mengatakan 'Saya pasti bisa' sebelum melakukan segala sesuatu. Sugesti adalah sesuatu yang memiliki daya magis bagi manusia.
Tidak ada manusia bodoh. Saya meyakini pendapat yang dicetuskan oleh siapapun itu. Selama kita mau, tidak peduli sesulit apapun tantangan yang harus ditempuh, tidak peduli sebesar apapun rintangan yang harus dihadapi, yakinlah kalau kita pasti bisa!
Picture : renatameyer.tumblr.com

09 November 2011

Not So Happy Ending



Saya suka fairy tales. Dulu...

Seiring berjalannya waktu, saya tumbuh semakin dewasa. Dengan pertambahan usia dan waktu yang lebih lama untuk melihat realita yang disajikan dunia itulah, saya menyadari kalau our real lives are far from fairy tales.

Dunia nyata sama sekali tidak seindah apa yang diceritakan dalam dongeng. Semua fairy tales rata-rata mengisahkan tentang putri yang lantas bertemu pangeran, kemudian mereka jatuh cinta, menghadapi beberapa rintangan, and live happily ever after. Bagi saya, cerita seperti itu terlalu menjual mimpi dan membuat terlena.

Lihat saja cerita mulai dari Snow White, Cinderella, Sleeping Beauty, Beauty and The Beast, dan lain-lain. Semua berakhir dengan begitu membahagiakan. Konflik hanya terjadi ketika tiba-tiba muncul penyihir jahat yang menjadi rintangan bagi perjalanan cinta keduanya. Tapi pada akhirnya, semua tokoh antagonis itu terkalahkan dengan kekuatan cinta. Classy!

Dari sekian banyaknya dongeng, yang paling saya sukai adalah The Little Mermaid. Saya baru benar-benar menyadari full story-nya setelah menonton melodrama Korea berjudulSecret Garden.

Dongeng ini diambil sebagai salah satu pendukung cerita. Terutama di bagian ending-nya ‘Then she shot a parting glance at the world she was leaving behind, and dived into the waves, ready to turn into the foam of the sea from whence she had come, and vanish’.

Akhirnya, ada juga fairy tale with sad ending.

Bagi yang belum mengetahui Original Tale: The Little Mermaid (dengan tokoh utama bernama Sirenetta, bukan versi Disney dengan tokoh utama bernama Ariel) yang dikisahkan dengan suasana lebih ‘dark’, bisa dibaca di sini.
Kita semua perlu mengetahui kisah seperti ini. Jangan terus-menerus terbuai dengan kisah indah yang berakhir bahagia saja.
Melalui kisah The Little Mermaid, kita disadarkan, bahwa tidak segala sesuatu yang kita inginkan di dunia ini bisa tercapai. Bahwa meskipun kita telah mengorbankan segala yang kita miliki, termasuk yang paling berharga sekalipun, kalau memang yang kita ingini itu bukan hak kita, sampai kapanpun kita tidak akan mendapatkannya. Berusaha itu wajib hukumnya, tapi ada batasan di mana sekuat apapun kita berusaha, kuasa lain-yang diyakini bernama takdir atau kehendak Pencipta-itu tetap tidak bisa dilawan.
Karena rasa cintanya pada pangeran, Sirenetta rela menukar suara merdunya dengan sepasang kaki manusia. Dia juga rela menahan rasa sakit setiap kali melangkah. Bahkan yang paling gila, dia nekad membuat perjanjian dengan penyihir, bahwa apabila pria yang dicintainya menikah dengan wanita lain, dia tidak bisa kembali menjadi putri duyung lagi, melainkan menghilang ke dalam lautan seperti busa ombak.
Pada akhirnya, takdir ternyata tidak berpihak pada Sirenetta. Meskipun dia sudah merelakan segalanya, pangeran malah menikah dengan wanita lain. Tragis memang.
Selain apa yang sudah saya sebutkan sebelumnya, kita juga diingatkan, bahwa atas setiap pilihan yang kita buat dalam hidup, pasti ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, maka konsekuensi yang timbul adalah kita tidak boleh lupa diri dan tetap mengingat bagaimana proses sehingga kita bisa mencapainya. Tapi ketika tidak berjalan sesuai kehendak kita, maka kita harus siap dengan konsekuensi terburuk sekalipun. Seperti gambling, kita hanya mampu berharap dan berusaha semaksimal mungkin.

Pada akhirnya, semua itu tetaplah sebuah dongeng. Karangan belaka, yang dibuat demi memberikan berbagai pelajaran dan makna tentang kehidupan. Tidak masalah apakah kita lebih menyukai cerita dengan happy ending ataupun sad ending. Semua itu pilihan.

Berharap kisah hidup kita akan berakhir bahagia seperti kisah-kisah tersebut, sah-sah saja. Tapi bukan berarti kita jadi terobsesi dan melakukan berbagai macam cara, bahkan sampai menyangkal realita yang ada dan membohongi diri sendiri. Ingat, yang kita punya dan jalani adalah kehidupan nyata, bukan fairy tales.

Picture : private collection (Secret Garden SBS)

07 November 2011

Cry Your Heart Out



Saya sangat tidak setuju dengan kalimat ‘Anak cowok nggak boleh nangis’ yang sering diucapkan oleh orangtua kepada anak laki-laki mereka.
Memangnya apa yang salah dengan pria yang menangis? Mereka juga manusia. Mereka punya perasaan, dikuasai emosi, bisa menangis. Memangnya air mata dan isak tangis hanya milik kaum Hawa?
Mungkin maksud dari orangtua yang berkata demikian adalah supaya anak laki-laki mereka menjadi sosok yang kuat, pria tahan banting yang tidak cengeng. Tapi bukan berarti pria diharamkan untuk menangis.
Menangis adalah salah satu cara untuk menyalurkan perasaan. Di saat bulir demi bulir air mata keluar, secara tidak langsung beban yang kita rasakan akan sedikit berkurang.Menangis tidak bisa menyelesaikan masalah, harap diingat baik-baik. Tapi at least, perasaan tidak enak bisa berkurang sedikit demi sedikit.

Crying is one of nature’s most effective anti-sadness theraphy. Tears help reduce stress, stabilize emotions and removes toxins. So, if you’re depressed and problematic maybe all you need is a good cry. (inspiredhearts.tumble.com)
Awalnya saya juga agak aneh melihat banyaknya cowok-cowok Korea yang menangis dengan begitu mudahnya dalam hampir semua melodrama yang pernah saya tonton. Seolah meneteskan air mata adalah sesuatu yang sangat mudah bagi mereka, sama halnya dengan tersenyum. Tapi pada akhirnya, saya justru merasa seperti itu lebih baik.
Bukan berarti laki-laki kemudian setiap kali menemui masalah langsung menangis. Itu, sih, lama-lama akan berkonotasi negatif (baca: cengeng). Tapi, kalau suatu saat dia harus dihadapkan pada sebuah permasalahan pelik yang membuat hatinya tertekan atau perasaannya tersakiti, menangis bisa menjadi sarana penyaluran rasa tidak enak yang bersarang dalam hati.
Air mata bukanlah sesuatu yang dapat menyakiti harga diri seorang pria. Air mata tidak hanya tercipta untuk kaum perempuan. Karena kalau demikian, mengapa pria juga diciptakan dengan kelenjar air mata?
Sekali lagi, menangis tidak lantas membuat kita terlihat cengeng. Menangis adalah sebuah bukti, kalau rasa sakit yang kita rasakan sudah terlampau perih. Bahwa hati yang ringkih ini sudah tidak lagi mampu menampung semua beban yang dipaksa diletakkan di atas pundak.
Kita sudah sering mendengar bahwa tertawa (atau minimal tersenyum) itu sehat. Menangis pun demikian, bisa membuat sehat. Daripada kita terus memendam dan menahan emosi. Pada akhirnya, itu semua akan menjadi seperti bola salju. Semakin membesar, dan akhirnya malah bisa menghancurkan diri kita sendiri.
Dibandingkan seperti itu, tidak ada salahnya menangis. Tapi juga jangan lantas menangis terus-menerus. Kalau sudah merasa baikan, saatnya untuk kembali ke realita. Untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang ada.
Crying doesn’t indicate that you’re weak. Since birth, it has always been a sign that you’re alive. (justalittlebitlouder.tumblr.com)
Picture : wellowr.tumblr.com

28 October 2011

Bangga Menjadi Pemuda Indonesia


Delapan puluh tiga tahun yang lalu, pemuda Indonesia melakukan sebuah pergerakan yang menjadi bukti nyata kecintaan mereka terhadap Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Namun lihat apa yang terjadi pada pemuda Indonesia di masa sekarang ini. Bahkan rasa nasionalis sudah luntur dari jiwa kita sebagai pemuda.

Jangan mengaku sebagai pemuda Indonesia yang nasionalis, kalau kerjaan kita hanya mencela negeri sendiri. Kalau mau disebut nasionalis, buktikan rasa cinta kita terhadap Tanah Air dengan bukti nyata. Tidak perlu sampai mengikuti demo. Dari hal-hal sederhana saja, kita sudah bisa ikut serta dalam membangun negeri ke arah yang lebih baik, contohnya seperti ini: 


1. Bangga menggunakan batik dan kebaya (saat hangout atau special ocassion)
Batik dan kebaya tidak lagi identik dengan pakaian nenek-nenek. Kalau tahu cara mix n' match dengan benar... voila! Kita bisa terlihat stylish sekaligus nasionalis di saat yang bersamaan. Pilih kebaya encim yang tidak terlalu mencolok, kemudian padukan dengan celan atau rok jins. Dengan begitu, maka tidak akan menimbulkan kesan too much


2. Menonton saluran TV lokal
Tentunya dengan catatan hanya menonton acara-acara yang memberikan dampak positif (seperti acara kuliner, traveling, budaya, dll). Kompas TV dan Metro TV menjadi channel favorit saya, karena menyajikan berbagai acara edukatif yang membuat kita semakin jatuh cinta dengan Indonesia.


3. Merawat diri dengan cara tradisional
Bangsa ndonesia sudah sejak dulu terkenal dengan kepiawaiannya meracik berbagai bahan tradisional sebagai alat mempercantik diri. No wonder kalau Mustika Ratu menjadi perusahaan make-up kebanggaan Indonesia yang tidak perlu diragukan eksistensinya di kancah internasional. So, enggak butuh kosmetik dengan harga selangit, karena bahan-bahan yang biasa tersedia di dapur pun bisa dimanfaatkan! 


4. Bersikap tertib saat mengikuti Upacara Bendera
Enggak perlu sampai ikut paskibra. Cukup dengan mengikuti upacara dari awal sampai akhir dengan khidmat dan tertib, kita sudah bisa membuktikan rasa cinta kita kepada Tanah Air. Berdiri tegap dan memberi hormat saat pengibaran Bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya selama beberapa menit tidak akan membuat tangan kita patah, kok. 


5. Mendengarkan cerita dari kakek atau nenek tetang sejarah Indonesia
Kakek dan nenek kita yang sudah lahir dan bahkan menjadi bagian dari sejarah Indonesia tentunya dapat menceritakan semuanya itu dalam versi yang lebih seru. Sayangnya saya sudah tidak bisa mendengarkan itu semua, karena Kakek saya yang dulu suka bercerita telah tiada. Jadi, beruntunglah kalian yang masih memiliki kakek atau nenek yang dapat berbagi cerita. Membaca buku atau browsingsitus sejarah Indonesia juga bisa jadi alternatif pilihan. 


6. Traveling ke negara sendiri dulu, baru ke negara lain
Kalau wisatawan asing saja hobi banget traveling ke negara kita ini, masa kita yang tinggal di Indonesia kalah? Indonesia memiliki banyak sekali tempat-tempat wisata yang sangat indah dan harus menjadi tujuan utama destinasi liburan kita. Belum lagi pantai-pantainya yang super fabulous


7. Mengikuti kursus atau ekstrakurikuler tari daerah
Tarian tradisional yang dimiliki negara kita enggak kalah cool jika dibandingkan dengan tarian dari negara-negara lain. Malahan, tarian tradisional jauh lebih susah dibanding tarian luar. Jadi, kalau kita bisa menguasai tarian tradisional, tentunya kita bisa sedikit pamer sama teman-teman kita yang ada di luar negeri. 


8. Mencoba berbagai kuliner asli Indonesia
Indonesia terkenal dengan makanan tradisionalnya yang super yummy! Kalau mau dibikin list-nya, bisa sampai berlembar-lembar. Jadi, ayo ajak teman-teman kita untuk mencoba makanan tradisional Indonesia (lebih seru lagi kalau di warung pinggir jalan, karena rasanya yang masih original)!

Intinya, jalani semuanya dari hati, karena cuma hati kita yang bisa dengan jujur merefleksikan seberapa besar rasa cinta kita kepada tanah tempat kita berpijak saat ini.

Selamat Hari Sumpah Pemuda!

Pictures : private collection | gettyimages.com | wikipedia.com | lemper-abon.tumblr.com

26 October 2011

Hanya Punya Satu Nyawa



Lahir dan tinggal di Indonesia selama delapan belas tahun, membuat saya menyadari sebuah realita yang cukup memprihatinkan di negara ini. Lupakan mengenai masalah ekonomi, karena saya tidak akan membahasnya kali ini.
Realita yang saya temukan adalah: Rendahnya apreasiasi bangsa ini terhadap nyawa manusia.
Selesai UTS (Ujian Tengah Semester), teman-teman sekelas mengajak untuk merayakan kebebasan dengan bermain ke salah satu amusement park (AP) yang ada di Jakarta. Awalnya saya sangat  excited dengan rencana ini. Tapi kemudian kedua orangtua saya menasihati supaya tidak ikut pergi, mengingat keamanan berbagai wahananya yang semakin lama semakin bobrok saja.
Setelah berpikir lebih mendalam mengenai nasihat tersebut, saya langsung berubah pikiran. Menyatakan bahwa saya tidak akan pergi AP tersebut sampai keamanannya benar-benar bisa disetarakan dengan AP di negara lain.
Bukannya saya tidak menghargai dan tidak bangga akan kemajuan negara ini. Saya sudah puluhan kali bermain ke AP tersebut. Semua wahana yang ada di sana sudah pernah saya coba. Dari wahana khusus anak-anak (tentunya ketika saya masih kecil), sampai yang paling menguji adrenalin. Simply because i do love adrenaline rush thingy.
Kalau dulu, pikiran saya masih dangkal, khas anak-anak. Yang saya tahu hanyalah bermain ke sana kemari sesukanya tanpa beban. Sama sekali tidak ada ketakutan bahwa ada kemungkinan nyawa saya yang menjadi taruhan.
Tapi sekarang, mendengar berbagai berita yang entah benar atau tidak mengenai korban jiwa yang disebabkan oleh kerusakan dan masalah teknis wahana, saya jadi was-was. Memang berita itu tidak bisa dipastikan kebenarannya. Tapi melihat bukti nyata berbagai permainan lain yang ada di Indonesia, mulai dari flying fox, dan yang baru-baru ini terjadi di sebuah taman bermain air, saya jadi semakin tidak berhasrat untuk mencoba hal-hal berbau ekstrim yang tersedia di negara ini.
Tidak hanya dalam hal permainan ekstrim. Dalam transportasi pun begitu. Sudah bosan rasanya menyaksikan pemberitaan mengenai kecelakaan transportasi, mulai dari kendaraan roda dua, empat, kereta api, kapal laut, sampai pesawat. Kenapa, sih, malas sekali melakukan perawatan? Nyawa ratusan manusia bergantung penuh pada keamanan mesin dan hal teknis lainnya. Apakah sebanding, rasa malas tersebut dengan hilangnya nyawa-nyawa orang tidak berdosa?
Nyawa manusia dihargai dengan begitu rendahnya. Peralatan dan mesin yang digunakan tidak diperiksa serta dirawat dengan serius. Padahal, seiring berjalannya waktu, nilai guna peralatan dan mesin tersebut akan semakin berkurang. Yang berarti, keamanannya juga semakin jauh dari standar.
Saya tahu, nyawa manusia memang sepenuhnya milik Yang Maha Kuasa. Kapan dan dengan cara apa kita akan meninggal, hanya Tuhan lah yang tahu. Tapi sebagai manusia, kita harus menjaga nyawa kita dengan baik, bukan? Hidup cuma satu kali. Masa mau dikorbankan begitu saja dengan cara mati konyol?
Sebenarnya sudah sejak lama saya sangat tertantang untuk mencoba paralayang. Tidak perlu jauh-jauh dari Jakarta, karena di Puncak juga ada. Semoga saja niatan saya itu bisa segera terwujud, tentunya disertai dengan perbaikan keamanan dan kenyamanan yang digunakan, sehingga sesuai bahkan melebihi standar yang ada.
Semoga ke depannya, nyawa manusia bisa menjadi prioritas utama dan mendapat penghargaan tinggi dibandingkan dengan usaha mencari keuntungan semata. Uang bisa dicari, tapi nyawa manusia hanya satu. Tidak bisa dibeli dengan berapa banyak pun uang yang dimiliki.
Picture : moanalittlelouder.tumblr.com

20 October 2011

Sekolah Berjalan



Bus TransJakarta (atau yang sering salah dipersepsikan oleh sebagian besar warga Jakarta sebagai busway) bagi saya merupakan tempat pembelajaran yang sangat riil tentang kehidupan. Kendaraan umum ini seolah menjadi kaca display yang menampilkan berbagai jenis individu dengan keunikannya masing-masing. Singkatnya, segala macam sifat manusia bisa kita temukan selama menggunakan jasa transportasi satu ini.
Mulai dari ramainya gerombolan anak remaja dengan berbagai keceriaannya (jadi ingat dulu saya dan teman-teman saya pernah ditegur oleh penumpang lain dan supir bus saking berisiknya).
Egoisnya anak muda atau pria yang menikmati kenyamanan memperoleh tempat duduk dan tidak mau memberikan tempatnya bagi wanita, ibu hamil, atau manula.
Kemesraan pasangan sejoli di mana tangan sang pria tidak pernah lepas dari pasangannya untuk menjaga agar jangan sampai terpisah atau terjatuh.
Sampai dengan hal menggelikan yang mungkin tidak sengaja kita curi dengar dari obrolan orang lain.
Selain itu, saya juga bisa menikmati aktivitas yang dikerjakan penumpang lain. Mungkin aneh jika disebut menikmati. Tapi memang itulah yang biasanya saya lakukan. Mencermati, mengamati, menikmati.
Mulai dari remaja yang sibuk SMS-an, BBM-an, menulis status, atau mendengarkan lagu lewat earphone.
Orang yang larut dalam buku yang sedang dibacanya.
Pekerja yang berpakaian rapi dan sibuk dengan smartphone-nya.
Orang-orang yang saling berbincang, tertidur, mengamati jalan, or simply just do nothing.
That’s why bus TransJakarta (atau mungkin kendaraan umum lain) menjadi tempat yang tepat untuk mengamati karakter orang lain, menemukan sesuatu yang baru, atau bahkan untuk belajar tentang kehidupan.

Belajar? How can?
Dengan menggunakan transportasi umum, kita belajar untuk mengantri, menunggu giliran dengan tertib, menghargai orang lain, toleransi, simpati, dan banyak aspek penting dalam kehidupan lainnya.
Sekaligus membuat kita sadar kalau kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Ada banyak orang dengan berbagai kepribadian dan sifat berbeda. Itulah sebabnya dibutuhkan rasa pengertian dan toleransi.
Karena kalau kita tidak memiliki hal tersebut, maka saat kaki kita tidak sengaja terinjak oleh orang lain, maka bisa berakhir di kantor polisi dan berbuntut panjang. Tidak sengaja tersenggol, terinjak, terdorong, dan lain sebagainya itu hal yang wajar. Prinsip saya, kalau tidak mau tersenggol, ya, jangan naik kendaraan umum. Naik kendaraan pribadi saja. Atau yang lebih ekstrim lagi, pakai baju berduri. Dijamin, tidak akan ada yang menyenggol karena sudah keburu luka-luka duluan.
Begitu pula dengan masalah memberikan bangku yang kita duduki kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Wanita yang lebih tua, ibu dengan anak kecil apalagi yang sedang mengandung, manula, adalah pihak-pihak yang WAJIB kita berikan tempat duduk. Di luar itu, kalau jarak tempuh kita tidak terlalu jauh atau kita tidak sedang kelelahan, apa salahnya memberikan tempat duduk untuk orang lain, tanpa memikirkan untung-ruginya. Berdiri selama beberapa saat tidak akan membuat kaki kita patah, atau tulang kita remuk. Selagi masih diberi kesempatan untuk bisa berdiri, dengan tubuh yang sehat dan anggota badan yang lengkap, kenapa tidak kita coba syukuri?
Saat kebetulan naik bus TransJakarta, cobalah amati sekeliling kita. Pasti akan ada saja hal yang membuat sebal, membuat kita tertawa terbahak-bahak, bahkan mungkin menjadi sarana untuk instrospeksi diri.
Karena belajar tidak hanya bisa dilakukan di kelas. Setuju? Kita bisa belajar di mana saja, melalui setiap hal yang terjadi dalam hidup kita, mulai dari yang sederhana sampai yang paling kompleks sekalipun. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk belajar.
Picture : yustisi.com