17 May 2011

It's Not The End, It's Just a New Beginning



Rasanya baru beberapa hari yang lalu saya memasuki kelas baru di bangku SMA. Rasanya baru beberapa hari yang lalu saya mengenakan seragam putih abu-abu. Rasanya baru beberapa hari yang lalu saya mencicipi masa SMA.

Dan tau-tau, semuanya itu telah betul-betul berakhir. Masa-masa berkutat dengan tugas dan ujian telah berbuah manis. Selembar kertas dengan lima huruf yang membentuk kata L-U-L-U-S mengakhiri perjuangan selama tiga tahun. Tiga tahun yang berlalu begitu saja, seolah waktu berlari meninggalkan saya. Meninggalkan saya yang belum rela meninggalkan masa-masa itu, masih terbuai dalam comfort zone saya.

Tapi kemudian saya disadarkan, life must go on. Seorang bayi tidak akan belajar berjalan terus-menerus, bukan? Begitu pula dengan saya. Inilah saat bagi saya untuk merajut hari-hari baru di jenjang yang lebih tinggi lagi.


College.

Tempat di mana cita-cita terasa semakin dekat di depan mata.

Sebenarnya tidak banyak perbedaan antara high school dan college. Sama-sama masih harus bergelut dengan tugas dan ujian, masih harus bertemu dengan guru (walau dengan nama berbeda, dosen), masih terikat dengan berbagai aturan (walau mungkin tidak seketat dulu), masih merupakan sarana untuk bersosialisasi dan mengejar impian.

Perbedaannya hanya pada sistem belajar, ilmu yang didapat. And of course, no more boring uniform (I love this part!).

Intinya, siap tidak siap, saya harus tetap menapaki jenjang baru ini. Selangkah lebih maju. Fase baru dalam kehidupan saya. Karena lulus dari bangku SMA bukan berarti akhir dari perjuangan saya. Justru inilah satu awal baru dari hidup saya.

Dan akhirnya, lahirlah sebuah optimisme baru, bahwa college tidak akan semengerikan seperti yang selama ini saya pikirkan. Bahwa college akan menjadi sama menyenangkannya dengan high school. Let's pray for it!

Pictures : Private collection | scarlettkey.wordpress.com

15 May 2011

Music Taught Me How to Live




 taught me it's okay to be different.


taught me to be myself and not care what anyone else thinks.


taught me that life is hard, but you can make it through.


taught me that not every guy is going to treat me right.


taught me to always love the people around me.

Source : icanread.tumblr.com

Pictures : alexandraatapa-atumah.tumblr.com | flickr.com | im-n0tafraid.tumblr.com | lightthefuze.tumblr.com | subwaysong.tumblr.com

05 May 2011

Masih dan Akan Selalu Jadi Sahabat



Lantas, apa yang bisa membuat seorang cewek melupakan sahabat-sahabatnya? Cowok mungkin?

Saya menulis posting ini tanpa maksud menghakimi siapapun. Terlebih menyalahkan pihak manapun. Tulisan ini hanya ungkapan perasaan semata. Malah ditulis sebagai bahan refleksi saya pribadi.

Pertanyaan inilah yang akhir-akhir ini memenuhi pikiran saya :

Apa dengan berubahnya status seseorang menjadi "in relationship" (baca : pacaran), kemudian relationship orang tersebut dengan sahabat-sahabatnya malah hancur?

Ada yang salah, dengan menjaga keseimbangan antara waktu dengan pacar dan dengan sahabat? Apakah susah, menjaga hubungan baik dengan pacar sekaligus dengan sahabat?

Apa salah satunya harus menjadi korban?

Saya rasa tidak.

Dengan menghabiskan waktu bersama pasangan, tidak berarti melupakan eksistensi para sahabat, bukan?


Sahabat yang baik akan senang dengan perubahan status sahabat mereka dari single menjadi in relationship. Itu semua dikarenakan kebahagiaan seorang sahabat adalah ketika melihat sahabat mereka bahagia. As simple as that.

Tapi apa jadinya kalau justru kebahagiaan tersebut berubah tatkala si tokoh utama ini tidak lagi sama seperti ketika statusnya masih single?

Saya senang sahabat saya tidak lagi sendirian. Saya senang melihatnya menemukan pasangan yang dirasa cocok untuk melalui hari bersama. Tapi pantaskah saya merasa heran, ketika saya dan sahabat lain yang dekat dengannya selama ini tidak diberitahu tentang kabar bahagia tersebut? Bahkan seorang teman yang tidak terlalu dekat saja memandangi saya dengan tatapan bingung seraya bertanya "Masa sih lo nggak tau? Lo kan sahabat baiknya. Dia nggak ngomong?"

Saya seperti sahabat yang tidak tau apa-apa tentang sahabat saya sendiri. Padahal kami masih tinggal di kota yang sama, masih pergi ke sekolah yang sama.

Ironis? Mungkin.

Kabar bahagia akan menjadi lebih membahagiakan apabila dibagikan. Setidaknya itu yang saya yakini hingga detik ini. Namun saya berusaha memahami jalan pikiran setiap orang yang tidak sama. Saya dapat menerima bahwa mungkin ada alasan kuat di balik keputusan sahabat saya ini. Dan kenyataan tersebut nyatanya tidak meluruhkan sedikitpun rasa bahagia saya atas kebahagiaannya.

Tapi, seiring berjalannya waktu, saya merasa seperti ada tembok pembatas yang berdiri kokoh di antara saya dengan dia. Tembok itu tidak berdiri dengan sendirinya, tetapi seolah memang sengaja didirikan olehnya.

Dan ternyata, bukan hanya saya yang merasakan keberadaan tembok ini. Sahabat dekat kami yang lain juga merasakan hal serupa.

Kami tidak mempermasalahkan keputusannya untuk tidak ikut pergi bersama kami karena ingin ngedate dengan pasangannya. Kami hanya bertanya-tanya, apa dia tidak nyaman dengan persahabatan kami selama ini? Apa dia tidak senang menghabiskan waktu di tengah-tengah kami, bersama kami? Apa gerangan yang membuatnya segan memberitakan kabar baik tersebut kepada kami?

Tembok angkuh itu perlahan tapi pasti menutup segala akses untuk berkomunikasi. Meninggalkan kami dalam kolam penuh tanda tanya. Meninggalkan kami dalam keadaan kebingungan.

Lagi dan lagi, pertanyaan demi pertanyaan menyesaki otak kami, menguras tenaga dan pikiran kami.

Apa kami melakukan kesalahan yang membuatnya berpaling? Apa ada perbuatan kami yang membuatnya merasa tidak lagi fit in dalam inner circle yang selama ini terjalin?

Pada akhirnya semua pertanyaan tersebut hanya dapat dijawab oleh dia. Oleh dia, yang membuat pertanyaan-pertanyaan itu ada.

Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini kembali pada pilihan. Setiap individu punya hak penuh untuk menentukan pilihan mereka sendiri. Mereka berhak menentukan jalan mana yang hendak ditempuh. Entah di balik setiap pilihan itu ada alasan atau tidak, yang terpenting adalah pilihan telah dibuat. Yang bisa dilakukan hanyalah menantikan hasilnya. Menantikan konsekuensi pilihan yang mungkin saja berbuah manis, tapi tidak menutup kemungkinan berakhir tragis. Tentu saja saya mengharapkan hasil yang pertama, baik untuk pihaknya, pihak pasangannya, maupun pihak kami.

Saya hanya ingin menegaskan bahwa, "Kami selalu ada. Tidak peduli statusnya sudah berubah, status kami tetap sama. Kami adalah sahabatnya. Kami masih sahabatnya, dan akan terus seperti itu. Kebahagiaannya adalah kebahagiaan kami, meski kami tidak termasuk dalam kebahagiaan tersebut."

Semoga hubunganmu dengannya akan terus berjalan lancar. Semoga kebahagiaan selalu menghiasi hari-harimu. Semoga pilihanmu berbuah manis, Sahabat...

Pictures : twitter.com | flickr.com