23 February 2013

Saat Bersamamu



Tangan kiriku memencet bel rumah, sementara tangan yang lain menyembunyikan rangkaian bunga matahari di belakang tubuh. Aku ingat, kamu pernah bilang bunga matahari adalah bunga kesukaanmu. Pintu terbuka. Kamu muncul dengan pakaian rumah yang jauh dari kesan modis, tapi tetap mampu membangunkan kupu-kupu yang bersarang dalam perutku. Kuucapakan untaian selamat pagi sebelum menyodorkan rangkaian bunga kuning itu ke hadapanmu. Tak perlu ucapan terima kasih. Sebuah kecupan singkat di bibirku sudah mewakili segalanya.

Tangan kita tidak sengaja beradu beberapa kali selama berjalan di taman kota yang sepi pengunjung. Kunyalakan iPod, lantas menyelipkan earphone. Satu di telinga kiriku, sisanya di telinga kananmu. Lavender yang dibawakan oleh group band Marillion serasa diciptakan untuk menemani kita menikmati sore ini. Tangan kiriku berhasil menemukan tangan kananmu. Seolah keduanya diciptakan untuk saling tertaut.

Aku bisa membayangkan bibirmu yang maju beberapa senti ketika membaca pesan singkatku di layar ponsel. Kamu pasti membatin sedih, menerka-nerka apakah kadar pentingya eksistensimu sudah dikalahkan dengan segudang aktivitasku. Dengan seringai penuh kemenangan, kukirimkan pesan kedua. ‘Coba lihat ke belakang’. Mulutmu terbuka dan menutup bergantian, kehilangan kata-kata. Atau mungkin sedang berusaha meyakinkan diri, bahwa sosokku yang sedang memegang baki berisi dua cangkir capuccino bukan hanya bayang semu.

Suara Ingrid Michaelson menyanyikan ulang Can’t Help Falling in Love memenuhi seisi ruangan. Kamu langsung memekik kegirangan. “Oh, ini lagu kesukaanku!”Entah murni di luar kendali, atau mengandung makna tersirat di baliknya. Tanpa banyak berpikir, kuraih tangan kananmu. Sebelum sepatah kata meluncur dari bibirmu, kutarik tubuhmu merapat di kehangatan tubuhku. Menenggelamkan kepalamu di dadaku, menikmati harum vanila yang menguar dari rambut ikalmu. “Jangan bicara. Nikmati saja momen ini. Nikmati setiap detiknya.”

* * *

Kutatap seikat bunga matahari yang tergeletak di jok kiri mobil. Kemudian beralih pada rangkaian lain yang ada dalam dekapanmu. Dan kamu yang ada dalam dekapannya.

Kurasakan tangan kiriku mendingin di dalam saku celana. Mendamba kehangatan tangan kananmu yang berada dalam genggamannya. Kuresapi lirik Lavender milik Marillion. Kata demi kata, bait demi bait. Menebak-nebak apakah lagu yang terdengar lewat earphone di telinga kananmu juga memainkan lagu yang sama.

Kuperhatikan wajahmu yang mendadak mendung dari kejauhan. Menggambarkan kesedihan karena lagi-lagi dinomorduakan. Tak sampai semenit kemudian, bibir cemberut itu berganti posisi melengkung ke bawah, melihatnya membawa baki berisi dua cangkir capuccino. Sama dengan dua cangkir yang hanya teronggok di mejaku tanpa tersentuh sama sekali.

Kuhabiskan cairan putih di gelasku dalam sekali teguk. Rasa pahit yang mengaliri tenggorokanku bahkan berhasil membuat lagu semanis Can’t Help Falling in Love ikut terdengar pahit. Lagu kesukaanmu, aku masih ingat. Tapi maaf, tidak akan jadi lagu kesukaanku. Selamat menikmati momen ini... bersamanya...

Maafkan aku yang hanya mampu berangan-angan. Maafkan aku yang dikuasai kebodohan, diperdaya ketidakpekaan, diperbudak ego.

*) Terinspirasi dari lirik lagu When I Was Your Man oleh Bruno Mars

Picture : no-raj.tumblr.com

02 February 2013

To Make Her Proud



Pernah bertemu dengan ibu-ibu yang heboh (cenderung show off) membanggakan prestasi anak-anaknya? “Anak saya pulang sekolah sore terus karena sibuk ikut science club. Dia memang pintar, sih. Nilai mata pelajaran IPA-nya tidak pernah di bawah angka 90. Dia juga selalu masuk lima besar ranking pararel satu angkatan. Padahal belajarnya tidak terlalu lama. Mungkin karena otaknya sudah encer dari sananya, ya. Blablabla.”

Saya sering bertemu dengan ibu-ibu tipe seperti itu, dan terkadang dibuat tidak nyaman karenanya. Mungkin karena ibu saya sendiri tidak pernah melakukan hal itu.

Ibu saya tidak pernah membanggakan saya di depan orang lain, baik itu prestasi akademis maupun non-akademis. Saya juga tidak bermasalah dengan hal itu. Karena bagi saya, cukup ibu saya saja yang mengetahui prestasi saya. Meski tidak pernah membaginya dengan orang lain, bukan berarti beliau tidak menyadari usaha yang saya lakukan selama ini. Beliau adalah tipe orangtua yang memuji putrinya dalam batasan tidak berlebihan.

Selagi kecil terkadang mungkin saya sering menginginkan pujian lebih. Tapi seiring bertambahnya usia dan semakin banyak hal yang dimengerti, saya ikut menyadari, bahwa pujian yang berlebihan malah akan melemahkan mental.

Orangtua yang memuji anaknya ketika berhasil meraih sesuatu memang terbukti bisa meningkatkan kepercayaan diri anak tersebut. Tapi segala sesuatu yang baik jika dilakukan secara berlebihan hasilnya malah tidak baik lagi, terbukti adanya. Memuji anak (baik hanya di depan anak tersebut atau di depan orang lain) secara berlebihan malah bisa membuat si anak akhirnya menjadi besar kepala, dan tidak lagi termotivasi untuk meraih sesuatu yang lebih. Atau justru membuat si anak haus akan pujian, sehingga tidak menutup kemungkinan berusaha untuk memperolehnya dengan cara apapun (sehat maupun tidak).

Tidak ada orangtua yang tidak bangga jika anaknya mampu melakukan hal baik. Tapi rasa bangga mereka itu tidak lantas perlu ditunjukkan secara gamblang. Dengan memberi perhatian pada apa yang dikerjakan oleh anak, sudah cukup menjadi penanda bahwa mereka tahu dan bangga.

Dan saya tahu, ibu saya selalu memberi perhatian pada hal-hal positif yang saya lakukan selama ini. Dengan atau tanpa menunjukkannya secara terang-terangan. Saya tidak mengharapkan pujian dari khalayak ramai. Cukup rasa bangga dari ibu saya, bahwa beliau bahagia memiliki putri seperti saya. Hal itulah yang sampai saat ini selalu dan akan tetap saya perjuangkan.

Picture : lovetexts.tumblr.com