Tangan kiriku memencet bel rumah, sementara tangan yang lain
menyembunyikan rangkaian bunga matahari di belakang tubuh. Aku ingat, kamu
pernah bilang bunga matahari adalah bunga kesukaanmu. Pintu terbuka. Kamu
muncul dengan pakaian rumah yang jauh dari kesan modis, tapi tetap mampu
membangunkan kupu-kupu yang bersarang dalam perutku. Kuucapakan untaian selamat
pagi sebelum menyodorkan rangkaian bunga kuning itu ke hadapanmu. Tak perlu
ucapan terima kasih. Sebuah kecupan singkat di bibirku sudah mewakili segalanya.
Tangan kita tidak sengaja beradu beberapa kali selama
berjalan di taman kota yang sepi pengunjung. Kunyalakan iPod, lantas
menyelipkan earphone. Satu di telinga
kiriku, sisanya di telinga kananmu. Lavender
yang dibawakan oleh group band
Marillion serasa diciptakan untuk menemani kita menikmati sore ini. Tangan
kiriku berhasil menemukan tangan kananmu. Seolah keduanya diciptakan untuk
saling tertaut.
Aku bisa membayangkan bibirmu yang maju beberapa senti
ketika membaca pesan singkatku di layar ponsel. Kamu pasti membatin sedih,
menerka-nerka apakah kadar pentingya eksistensimu sudah dikalahkan dengan
segudang aktivitasku. Dengan seringai penuh kemenangan, kukirimkan pesan kedua.
‘Coba lihat ke belakang’. Mulutmu terbuka dan menutup bergantian, kehilangan
kata-kata. Atau mungkin sedang berusaha meyakinkan diri, bahwa sosokku yang
sedang memegang baki berisi dua cangkir capuccino
bukan hanya bayang semu.
Suara Ingrid Michaelson menyanyikan ulang Can’t Help Falling in Love memenuhi
seisi ruangan. Kamu langsung memekik kegirangan. “Oh, ini lagu
kesukaanku!”Entah murni di luar kendali, atau mengandung makna tersirat di
baliknya. Tanpa banyak berpikir, kuraih tangan kananmu. Sebelum sepatah kata
meluncur dari bibirmu, kutarik tubuhmu merapat di kehangatan tubuhku.
Menenggelamkan kepalamu di dadaku, menikmati harum vanila yang menguar dari
rambut ikalmu. “Jangan bicara. Nikmati saja momen ini. Nikmati setiap detiknya.”
* * *
Kutatap seikat bunga matahari yang tergeletak di jok kiri
mobil. Kemudian beralih pada rangkaian lain yang ada dalam dekapanmu. Dan kamu
yang ada dalam dekapannya.
Kurasakan tangan kiriku mendingin di dalam saku celana.
Mendamba kehangatan tangan kananmu yang berada dalam genggamannya. Kuresapi
lirik Lavender milik Marillion. Kata
demi kata, bait demi bait. Menebak-nebak apakah lagu yang terdengar lewat earphone di telinga kananmu juga
memainkan lagu yang sama.
Kuperhatikan wajahmu yang mendadak mendung dari kejauhan.
Menggambarkan kesedihan karena lagi-lagi dinomorduakan. Tak sampai semenit
kemudian, bibir cemberut itu berganti posisi melengkung ke bawah, melihatnya
membawa baki berisi dua cangkir capuccino.
Sama dengan dua cangkir yang hanya teronggok di mejaku tanpa tersentuh sama
sekali.
Kuhabiskan cairan putih di gelasku dalam sekali teguk. Rasa
pahit yang mengaliri tenggorokanku bahkan berhasil membuat lagu semanis Can’t Help Falling in Love ikut
terdengar pahit. Lagu kesukaanmu, aku masih ingat. Tapi maaf, tidak akan jadi
lagu kesukaanku. Selamat menikmati momen ini... bersamanya...
Maafkan aku yang hanya mampu berangan-angan. Maafkan aku
yang dikuasai kebodohan, diperdaya ketidakpekaan, diperbudak ego.
*) Terinspirasi dari lirik lagu When I Was Your Man oleh Bruno Mars
Picture : no-raj.tumblr.com