26 October 2011

Hanya Punya Satu Nyawa



Lahir dan tinggal di Indonesia selama delapan belas tahun, membuat saya menyadari sebuah realita yang cukup memprihatinkan di negara ini. Lupakan mengenai masalah ekonomi, karena saya tidak akan membahasnya kali ini.
Realita yang saya temukan adalah: Rendahnya apreasiasi bangsa ini terhadap nyawa manusia.
Selesai UTS (Ujian Tengah Semester), teman-teman sekelas mengajak untuk merayakan kebebasan dengan bermain ke salah satu amusement park (AP) yang ada di Jakarta. Awalnya saya sangat  excited dengan rencana ini. Tapi kemudian kedua orangtua saya menasihati supaya tidak ikut pergi, mengingat keamanan berbagai wahananya yang semakin lama semakin bobrok saja.
Setelah berpikir lebih mendalam mengenai nasihat tersebut, saya langsung berubah pikiran. Menyatakan bahwa saya tidak akan pergi AP tersebut sampai keamanannya benar-benar bisa disetarakan dengan AP di negara lain.
Bukannya saya tidak menghargai dan tidak bangga akan kemajuan negara ini. Saya sudah puluhan kali bermain ke AP tersebut. Semua wahana yang ada di sana sudah pernah saya coba. Dari wahana khusus anak-anak (tentunya ketika saya masih kecil), sampai yang paling menguji adrenalin. Simply because i do love adrenaline rush thingy.
Kalau dulu, pikiran saya masih dangkal, khas anak-anak. Yang saya tahu hanyalah bermain ke sana kemari sesukanya tanpa beban. Sama sekali tidak ada ketakutan bahwa ada kemungkinan nyawa saya yang menjadi taruhan.
Tapi sekarang, mendengar berbagai berita yang entah benar atau tidak mengenai korban jiwa yang disebabkan oleh kerusakan dan masalah teknis wahana, saya jadi was-was. Memang berita itu tidak bisa dipastikan kebenarannya. Tapi melihat bukti nyata berbagai permainan lain yang ada di Indonesia, mulai dari flying fox, dan yang baru-baru ini terjadi di sebuah taman bermain air, saya jadi semakin tidak berhasrat untuk mencoba hal-hal berbau ekstrim yang tersedia di negara ini.
Tidak hanya dalam hal permainan ekstrim. Dalam transportasi pun begitu. Sudah bosan rasanya menyaksikan pemberitaan mengenai kecelakaan transportasi, mulai dari kendaraan roda dua, empat, kereta api, kapal laut, sampai pesawat. Kenapa, sih, malas sekali melakukan perawatan? Nyawa ratusan manusia bergantung penuh pada keamanan mesin dan hal teknis lainnya. Apakah sebanding, rasa malas tersebut dengan hilangnya nyawa-nyawa orang tidak berdosa?
Nyawa manusia dihargai dengan begitu rendahnya. Peralatan dan mesin yang digunakan tidak diperiksa serta dirawat dengan serius. Padahal, seiring berjalannya waktu, nilai guna peralatan dan mesin tersebut akan semakin berkurang. Yang berarti, keamanannya juga semakin jauh dari standar.
Saya tahu, nyawa manusia memang sepenuhnya milik Yang Maha Kuasa. Kapan dan dengan cara apa kita akan meninggal, hanya Tuhan lah yang tahu. Tapi sebagai manusia, kita harus menjaga nyawa kita dengan baik, bukan? Hidup cuma satu kali. Masa mau dikorbankan begitu saja dengan cara mati konyol?
Sebenarnya sudah sejak lama saya sangat tertantang untuk mencoba paralayang. Tidak perlu jauh-jauh dari Jakarta, karena di Puncak juga ada. Semoga saja niatan saya itu bisa segera terwujud, tentunya disertai dengan perbaikan keamanan dan kenyamanan yang digunakan, sehingga sesuai bahkan melebihi standar yang ada.
Semoga ke depannya, nyawa manusia bisa menjadi prioritas utama dan mendapat penghargaan tinggi dibandingkan dengan usaha mencari keuntungan semata. Uang bisa dicari, tapi nyawa manusia hanya satu. Tidak bisa dibeli dengan berapa banyak pun uang yang dimiliki.
Picture : moanalittlelouder.tumblr.com

No comments:

Post a Comment