Lahir dan tinggal di Indonesia selama delapan belas tahun, membuat saya
menyadari sebuah realita yang cukup memprihatinkan di negara ini. Lupakan
mengenai masalah ekonomi, karena saya tidak akan membahasnya kali ini.
Realita yang saya
temukan adalah: Rendahnya apreasiasi bangsa ini terhadap nyawa manusia.
Selesai UTS (Ujian Tengah Semester), teman-teman sekelas mengajak untuk
merayakan kebebasan dengan bermain ke salah satu amusement park (AP)
yang ada di Jakarta. Awalnya saya sangat excited dengan
rencana ini. Tapi kemudian kedua orangtua saya menasihati supaya tidak ikut
pergi, mengingat keamanan berbagai wahananya yang semakin lama semakin bobrok
saja.
Setelah berpikir lebih
mendalam mengenai nasihat tersebut, saya langsung berubah pikiran. Menyatakan
bahwa saya tidak akan pergi AP tersebut sampai keamanannya benar-benar bisa
disetarakan dengan AP di negara lain.
Bukannya saya tidak menghargai dan tidak bangga akan kemajuan negara ini.
Saya sudah puluhan kali bermain ke AP tersebut. Semua wahana yang ada di sana
sudah pernah saya coba. Dari wahana khusus anak-anak (tentunya ketika saya
masih kecil), sampai yang paling menguji adrenalin. Simply because i do
love adrenaline rush thingy.
Kalau dulu, pikiran
saya masih dangkal, khas anak-anak. Yang saya tahu hanyalah bermain ke sana
kemari sesukanya tanpa beban. Sama sekali tidak ada ketakutan bahwa ada
kemungkinan nyawa saya yang menjadi taruhan.
Tapi sekarang, mendengar berbagai berita yang entah benar atau tidak
mengenai korban jiwa yang disebabkan oleh kerusakan dan masalah teknis wahana,
saya jadi was-was. Memang berita itu tidak bisa dipastikan kebenarannya. Tapi
melihat bukti nyata berbagai permainan lain yang ada di Indonesia, mulai
dari flying fox, dan yang baru-baru ini terjadi di sebuah taman bermain
air, saya jadi semakin tidak berhasrat untuk mencoba hal-hal berbau ekstrim
yang tersedia di negara ini.
Tidak hanya dalam hal
permainan ekstrim. Dalam transportasi pun begitu. Sudah bosan rasanya
menyaksikan pemberitaan mengenai kecelakaan transportasi, mulai dari kendaraan
roda dua, empat, kereta api, kapal laut, sampai pesawat. Kenapa, sih, malas
sekali melakukan perawatan? Nyawa ratusan manusia bergantung penuh pada
keamanan mesin dan hal teknis lainnya. Apakah sebanding, rasa malas tersebut
dengan hilangnya nyawa-nyawa orang tidak berdosa?
Nyawa manusia dihargai
dengan begitu rendahnya. Peralatan dan mesin yang digunakan tidak diperiksa
serta dirawat dengan serius. Padahal, seiring berjalannya waktu, nilai guna
peralatan dan mesin tersebut akan semakin berkurang. Yang berarti, keamanannya
juga semakin jauh dari standar.
Saya tahu, nyawa
manusia memang sepenuhnya milik Yang Maha Kuasa. Kapan dan dengan cara apa kita
akan meninggal, hanya Tuhan lah yang tahu. Tapi sebagai manusia, kita harus
menjaga nyawa kita dengan baik, bukan? Hidup cuma satu kali. Masa mau
dikorbankan begitu saja dengan cara mati konyol?
Sebenarnya sudah sejak
lama saya sangat tertantang untuk mencoba paralayang. Tidak perlu jauh-jauh
dari Jakarta, karena di Puncak juga ada. Semoga saja niatan saya itu bisa
segera terwujud, tentunya disertai dengan perbaikan keamanan dan kenyamanan
yang digunakan, sehingga sesuai bahkan melebihi standar yang ada.
Semoga ke depannya, nyawa manusia bisa menjadi
prioritas utama dan mendapat penghargaan tinggi dibandingkan dengan usaha
mencari keuntungan semata. Uang bisa dicari, tapi nyawa manusia hanya satu.
Tidak bisa dibeli dengan berapa banyak pun uang yang dimiliki.
Picture :
moanalittlelouder.tumblr.com
No comments:
Post a Comment