Selama sembilan minggu terakhir, saya mengikuti sebuah drama
Korea berjudul The Heirs yang sedang tayang. Ini adalah drama kedua yang saya
ikuti sebelum ceritanya berakhir. Membuat saya rela menanti-nanti setiap minggu
hanya demi mengetahui kelanjutan ceritanya.
Drama ini memang sudah sejak awal tahun disebut-sebut akan
menjadi drama fenomenal 2013, meski banyak pula yang menanggapinya dengan
skeptis. Terlepas dari pro/kontra mengenai plot, aktor, dan berbagai aspek dari
drama ini, saya justru ingin membahas mengenai karakter utama pria dalam drama
ini, Kim Tan.
Singkatnya, Kim Tan terlahir sebagai anak haram dalam
keluarga disfungsional. Meski berlimpahan materi, kenyataannya dia sama sekali
tidak bahagia dengan kehidupannya. Dia disingkirkan ke Amerika untuk tinggal
sendiri di sana, karena statusnya sebagai anak haram. Sampai suatu hari dia
bertemu dengan seorang perempuan bernama Cha Eun Sang, dan kebetulan
menyaksikan langsung permasalahan antara perempuan tersebut dengan sang kakak,
yang mirip dengan masalahnya sendiri.
Setelah pertemuan secara kebetulan tersebut, Kim Tan mulai
menyukai Cha Eun Sang. Seiring berjalannya waktu, rasa suka tersebut mulai
berubah menjadi obsesi. Baginya, yang menjalani hidup hanya sebagai sebuah
keharusan‒tanpa
tujuan atau mimpi‒Cha Eun Sang pun menjelma menjadi mimpinya. Sumber
kebahagiaan yang sejak lahir tidak dimilikinya, juga alasan baru untuk
menjalani hari-harinya.
Sampai akhirnya, masalah khas yang hampir selalu terjadi di antara
hubungan si kaya dengan si miskin– ketidaksetujuan orangtua si kaya—membuat Cha
Eun Sang yang juga sudah mulai menyukai Kim Tan, terpaksa meninggalkannya.
Lalu apa yang terjadi? Kim Tan berubah menjadi sosok yang
sangat menyedihkan. Hidupnya berubah jauh lebih kacau dibandingkan sebelum Cha
Eun Sang masuk ke dalamnya. Terus-terusan menangis seperti anak kecil yang
kehilangan mainan kesayangannya, bahkan sampai menghancurkan kamar dan
berkelahi. Singkatnya, rebelling. Layaknya zombie, Kim Tan merasa tidak lagi
memiliki alasan untuk bertahan hidup. Bahwa semua kebahagiaan sudah ditarik secara
paksa dari hidupnya.
Melihat dua episode yang diisi dengan kehancuran Kim Tan,
akhirnya membuat saya gerah sendiri. Membuat saya teringat akan sebuah quotes
yang mengatakan “Happiness depends upon ourselves”, yang bahkan sempat saya
jadikan wallpaper handphone.
Kita semua berhak, bahkan sebenarnya wajib bermimpi. Tapi
menjadikan orang lain‒tidak peduli seberapa besar kita mencintai orang tersebut‒sebagai
mimpi, benar-benar sesuatu yang menyedihkan. Kebahagiaan seseorang seharusnya
berakar dari orang itu sendiri. Dia yang mempunyai kehendak penuh untuk
memutuskan akan menjalani hidupnya seperti apa. Akan merasa bahagia atau
terus-terusan merasa menjadi orang paling menderita di dunia. Bukan orang lain,
termasuk keluarga, pasangan, atau siapa pun itu.
Mimpi seharusnya membuat kita termotivasi untuk menjadi pribadi
yang lebih baik. Karena dengan bermimpi, kita memiliki arah tujuan hidup,
sehingga kita akan terus meng-upgrade diri untuk menjadi lebih baik dan lebih
baik lagi dalam rangka mewujudkan mimpi itu.
Apa jadinya kalau mimpi kita justru adalah orang lain?
Setiap manusia pasti suatu saat akan meninggal. Setiap manusia pasti minimal
pernah sekali mengalami peristiwa ditinggalkan oleh orang yang dicintainya.
Kalau orang yang kita sebut-sebut sebagai mimpi kita pergi meninggalkan kita‒untuk
selama-lamanya karena maut atau alasan lain‒lantas berarti itu adalah hari
kiamat untuk kita? Tidak lagi ada yang perlu diperjuangkan? Tidak ada lagi
alasan untuk bertahan hidup? Sayang sekali kalau hidup yang cuma sekali ini
harus disia-siakan seperti tu.
“Don’t rely on someone else for your happiness and self
worth. Only you can be responsible for that. If you can’t love and respect
yourself, no one else will be able to make that happen. Accept who you are
completely‒the
good and the bad. And make changes as you see fit. Not because you think
someone else wants you to be different.” –Stacey Charter
Ciptakan kebahagian kita sendiri. Itu kuncinya. Orang lain
yang kita cintai, jadikan mereka sebagai pelengkap kebahagiaan kita, bukan
sebagai sumber kebahagiaan. Dengan eksistensi mereka dalam hidup kita,
kebahagiaan yang berhasil kita ciptakan untuk diri kita sendiri, akan terasa
lebih bermakna. Jangan sampai tanpa eksistensi mereka, lantas hidup kita
berubah menjadi neraka.
Bangun mimpi yang berorientasi terhadap kebaikan diri kita.
Mungkin kedengarannya egois. Tapi kalau kita sudah memiliki mimpi yang
berorientasi demi kebaikan kita, maka efeknya pada saat proses memperjuangan
mimpi itu sampai saat mimpi itu terwujud, juga akan menular dengan kebaikan
orang di sekitar kita, atau mungkin ruang lingkup yang lebih besar.
Contoh sederhananya adalah orang yang bermimpi menjadi
dokter. Mimpi itu membuatnya terus meng-upgrade diri menjadi pribadi lebih
baik, tentunya dengan rajin belajar, disiplin diri, dan sebagainya. Efek baik
itu juga tidak hanya terjadi pada dirinya. Di saat dia berhasil mewujudkan
mimpinya, akan ada banyak orang yang merasakan manfaat positif tersebut, misalnya
pasien.
Pictures: noukka.devianart.com | tumblr.com