06 December 2013

Depends Upon Ourselves


Selama sembilan minggu terakhir, saya mengikuti sebuah drama Korea berjudul The Heirs yang sedang tayang. Ini adalah drama kedua yang saya ikuti sebelum ceritanya berakhir. Membuat saya rela menanti-nanti setiap minggu hanya demi mengetahui kelanjutan ceritanya.

Drama ini memang sudah sejak awal tahun disebut-sebut akan menjadi drama fenomenal 2013, meski banyak pula yang menanggapinya dengan skeptis. Terlepas dari pro/kontra mengenai plot, aktor, dan berbagai aspek dari drama ini, saya justru ingin membahas mengenai karakter utama pria dalam drama ini, Kim Tan.

Singkatnya, Kim Tan terlahir sebagai anak haram dalam keluarga disfungsional. Meski berlimpahan materi, kenyataannya dia sama sekali tidak bahagia dengan kehidupannya. Dia disingkirkan ke Amerika untuk tinggal sendiri di sana, karena statusnya sebagai anak haram. Sampai suatu hari dia bertemu dengan seorang perempuan bernama Cha Eun Sang, dan kebetulan menyaksikan langsung permasalahan antara perempuan tersebut dengan sang kakak, yang mirip dengan masalahnya sendiri.

Setelah pertemuan secara kebetulan tersebut, Kim Tan mulai menyukai Cha Eun Sang. Seiring berjalannya waktu, rasa suka tersebut mulai berubah menjadi obsesi. Baginya, yang menjalani hidup hanya sebagai sebuah keharusan‒tanpa tujuan atau mimpi‒Cha Eun Sang pun menjelma menjadi mimpinya. Sumber kebahagiaan yang sejak lahir tidak dimilikinya, juga alasan baru untuk menjalani hari-harinya.

Sampai akhirnya, masalah khas yang hampir selalu terjadi di antara hubungan si kaya dengan si miskin– ketidaksetujuan orangtua si kaya—membuat Cha Eun Sang yang juga sudah mulai menyukai Kim Tan, terpaksa meninggalkannya.

Lalu apa yang terjadi? Kim Tan berubah menjadi sosok yang sangat menyedihkan. Hidupnya berubah jauh lebih kacau dibandingkan sebelum Cha Eun Sang masuk ke dalamnya. Terus-terusan menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya, bahkan sampai menghancurkan kamar dan berkelahi. Singkatnya, rebelling. Layaknya zombie, Kim Tan merasa tidak lagi memiliki alasan untuk bertahan hidup. Bahwa semua kebahagiaan sudah ditarik secara paksa dari hidupnya.

Melihat dua episode yang diisi dengan kehancuran Kim Tan, akhirnya membuat saya gerah sendiri. Membuat saya teringat akan sebuah quotes yang mengatakan “Happiness depends upon ourselves”, yang bahkan sempat saya jadikan wallpaper handphone.


Kita semua berhak, bahkan sebenarnya wajib bermimpi. Tapi menjadikan orang lain‒tidak peduli seberapa besar kita mencintai orang tersebut‒sebagai mimpi, benar-benar sesuatu yang menyedihkan. Kebahagiaan seseorang seharusnya berakar dari orang itu sendiri. Dia yang mempunyai kehendak penuh untuk memutuskan akan menjalani hidupnya seperti apa. Akan merasa bahagia atau terus-terusan merasa menjadi orang paling menderita di dunia. Bukan orang lain, termasuk keluarga, pasangan, atau siapa pun itu.

Mimpi seharusnya membuat kita termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Karena dengan bermimpi, kita memiliki arah tujuan hidup, sehingga kita akan terus meng-upgrade diri untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi dalam rangka mewujudkan mimpi itu.

Apa jadinya kalau mimpi kita justru adalah orang lain? Setiap manusia pasti suatu saat akan meninggal. Setiap manusia pasti minimal pernah sekali mengalami peristiwa ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. Kalau orang yang kita sebut-sebut sebagai mimpi kita pergi meninggalkan kita‒untuk selama-lamanya karena maut atau alasan lain‒lantas berarti itu adalah hari kiamat untuk kita? Tidak lagi ada yang perlu diperjuangkan? Tidak ada lagi alasan untuk bertahan hidup? Sayang sekali kalau hidup yang cuma sekali ini harus disia-siakan seperti tu.

Don’t rely on someone else for your happiness and self worth. Only you can be responsible for that. If you can’t love and respect yourself, no one else will be able to make that happen. Accept who you are completely‒the good and the bad. And make changes as you see fit. Not because you think someone else wants you to be different.” –Stacey Charter

Ciptakan kebahagian kita sendiri. Itu kuncinya. Orang lain yang kita cintai, jadikan mereka sebagai pelengkap kebahagiaan kita, bukan sebagai sumber kebahagiaan. Dengan eksistensi mereka dalam hidup kita, kebahagiaan yang berhasil kita ciptakan untuk diri kita sendiri, akan terasa lebih bermakna. Jangan sampai tanpa eksistensi mereka, lantas hidup kita berubah menjadi neraka.

Bangun mimpi yang berorientasi terhadap kebaikan diri kita. Mungkin kedengarannya egois. Tapi kalau kita sudah memiliki mimpi yang berorientasi demi kebaikan kita, maka efeknya pada saat proses memperjuangan mimpi itu sampai saat mimpi itu terwujud, juga akan menular dengan kebaikan orang di sekitar kita, atau mungkin ruang lingkup yang lebih besar.


Contoh sederhananya adalah orang yang bermimpi menjadi dokter. Mimpi itu membuatnya terus meng-upgrade diri menjadi pribadi lebih baik, tentunya dengan rajin belajar, disiplin diri, dan sebagainya. Efek baik itu juga tidak hanya terjadi pada dirinya. Di saat dia berhasil mewujudkan mimpinya, akan ada banyak orang yang merasakan manfaat positif tersebut, misalnya pasien.

Pictures: noukka.devianart.com | tumblr.com