20 July 2013

Arogansi Profesi


Beberapa waktu yang lalu, saya sempat terjebak bersama penumpang Bus TransJakarta lainnya, dalam sebuah perkelahian antara petugas penjaga pintu bus dengan seorang penumpang. Perkelahian yang seharusnya tidak perlu dan tidak pantas terjadi. Alasannya sederhana, karena penumpang yang mengaku-ngaku berprofesi sebagai wartawan tersebut, tidak terima dengan peringatan dari petugas bus.

Keadaan di bus gandeng koridor 1 menuju Kota memang cukup ramai di bagian belakang. Hal itulah yang menyebabkan ada beberapa pria yang berdiri di area khusus wanita. Sudah sejak awal si petugas bus memperingatkan para penumpang pria untuk bergerak ke belakang.

Saat naik bus pertama kali, sebenarnya saya dan teman saya sempat membicarakan mengenai gaya bicara petugas bus yang terkesan nyolot.

‘Kalau ada yang tidak senang dengan gayanya, bisa panjang nih ceritanya.’ Pikiran semacam itu bahkan sempat singgah dalam benak saya.

Benar saja, setelah sekian lama, akhirnya si penumpang naik darah. Dia berseru gusar kepada si petugas, “Coba saja kamu ke sini. Lihat! Tidak ada tempat! Bagaimana caranya saya bisa berdiri di sana? Dari tadi saya perhatikan gaya kamu itu tidak pantas!”

Si petugas tidak mau kalah. Tetap teguh memegang peraturan.

“Kamu tidak tahu siapa saya? Saya ini wartawan! Saya bisa menulis nama dan gaya kamu ini di tulisan saya!” seru si penumpang untuk kedua kalinya. Kali ini diiringi protes dari penumpang lain. Kebanyakan menanyakan kredibilitas penumpang tersebut.

“Wartawan apa gayanya seperti ini?”

“Memangnya kenapa kalau wartawan? Sok banget!”

Bahkan ada juga yang mengatakan, “Wartawan apa? Wartawan kasus kriminal ya, makanya gayanya seperti itu?”

Hasilnya, banyak penumpang yang semuanya wanita, jadi berada di sisi si petugas.

Supir bus sampai merasa perlu turun tangan melerai keduanya. Peringatan lewat pengeras suara yang tidak digubris, membuat si supir menghentikan laju bus, kemudian memasuki TKP.

Untungnya, perselisihan dapat dihentikan. Mungkin keduanya akan menyelesaikan unfinished business mereka di halte akhir, seperti saran dari supir. Entahlah.

Yang dapat saya simpulkan, perkelahian tersebut terjadi karena arogansi profesi dari kedua belah pihak. 

Sebagai petugas bus, dia merasa bisa mengatur penumpang. Memang, apa yang dilakukannya semata demi menjalankan peraturan, sekaligus menjaga kenyamanan penumpang. Sayangnya, dengan cara yang memang kurang sesuai. Sebagai bagian dari usaha jasa, seharusnya dia bisa menyampaikannya dengan cara lebih baik.

Sementara si penumpang, jelas menyalahgunakan profesinya untuk sesuatu yang tidak tepat. Memangnya kenapa kalau dia wartawan? Hanya karena dia bisa membuat artikel atau pemberitaan, lantas dia merasa bisa melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya? Bahkan sampai menggunakan profesi sebagai modal ancaman.

Bukankah dengan memuat berita mengenai kejadian tersebut, justru akan menghancurkan reputasinya? Kecuali kalau dia mengedit beberapa bagian. Which is, sangat memalukan untuk dilakukan oleh seseorang berprofesi seperti yang dia bangga-banggakan.

Profesi adalah tanggung jawab, bukan sesuatu yang perlu dibangga-banggakan atau bahkan dimanfaatkan untuk hal-hal tertentu. Untuk alasan apapun, memanfaatkan persepsi yang mungkin sudah terbentuk dalam masyarakat karena profesi yang dijalani, sungguh merupakan tindakan pengecut, kekanakan, dan memalukan.

Profesi seharusnya diisi dengan prestasi, bukan arogansi.

Picture: pinkpastels.tumblr.com

04 July 2013

Alasan Lain


Sky sudah tidak ada. Jadi kita tidak perlu bertemu lagi.
               Dengan tangan gemetar, akhirnya kutekan tombol send. Lima menit, setengah jam, bahkan sampai dua jam setelahnya, tidak ada balasan apapun. Rasa kecewa yang mendalam perlahan merayapi hatiku. Pesan yang tak kunjung mengisi inbox ponsel kumaknai sebagai persetujuan.
               Semuanya sudah jelas. Aku dan Aska telah kehilangan alasan itu. Alasan yang sampai kemarin masih melandasi hubungan entah jenis apa yang terjalin di antara kami.
Aku langsung menyadarinya begitu melihat tubuh berbulu cokelat keemasan Sky tergolek tak berdaya di tengah jalan kemarin. Aroma anyir yang menyeruak segera menghadirkan sensasi yang begitu mengerikan. Ekspresi horor tak hanya tercipta di wajahku. Bagai sedang berkaca, ekspresi yang sama juga menghiasi wajah Aska yang biasanya didominasi senyuman hangat. Oh, Sky kami yang malang!
               Aku menatap hampa taman kecil yang selalu kusinggahi setiap sore. Seharusnya sekarang aku sedang tertawa bersama Sky. Dan Aska. Seperti yang selalu terjadi setiap kali kami bertukar momen indah selama satu hingga dua jam.
               Sky bukan sekedar anjing Golden Retriever yang kutemukan dalam keadaan terluka di tempat yang sama tiga tahun yang lalu. Pertemuan dengannya juga menandai perjumpaan pertamaku dengan Aska. Tanpa sadar, kami memainkan peran sebagai orangtua Sky. Membawanya pulang bergantian. Melimpahkan kasih sayang padanya.
Aku tidak ingat kapan kali pertama kami memulai topik pembicaraan di luar hal-hal yang menyangkut Sky. Satu yang kuingat pasti, saat itu aku tidak lagi merasa kesepian.
               Tapi hari ini akhirnya datang juga. Hari di mana aku kehilangan keduanya. Yang satu karena maut, sedang yang lainnya karena diriku yang terlalu pengecut ini merasa tidak ada lagi alasan untuk tetap mempertahankan sosoknya. Bagiku, Aska hanya terjangkau di saat Sky berada di tengah kami.
               “Sky memang sudah tidak ada. Tapi aku ingin kita tetap bisa bertemu. Tidak hanya di taman ini, tapi juga di tempat lain. Tidak hanya di sore hari, tapi kapan saja kita ingin bertemu.” Untaian suara selembut angin senja menggelitik indra pendengaranku. Suara yang terlalu familiar, dan tak kusangka masih bisa kudengar. Terlebih di saat ini, di saat alasan untuk mendengarnya telah tiada.
               “Hari itu, bukan kita yang menemukan Sky. Tapi Sky-lah yang mempertemukan kita. Aku sudah kehilangan Sky, dan tidak ingin kehilangan lagi.”***


Picture : tumblr.com