26 September 2011

Energi Positif di Hari Senin



Pagi tadi, saya tidak bisa meneriakkan kata “I love Monday”, karena memang hari ini bukanlah Senin ideal bagi saya. Tapi pada akhirnya, saya bisa meneriakkan kata-kata tersebut.

Be positive, that’s the key.

Seperti yang sudah saya tuliskan di bagian awal, hari ini bukanlah Senin ideal bagi saya. Dimulai dengan terjebak dalam kemacetan Jakarta saat berangkat kuliah. Kalau biasanya, terjebak macet di hari Senin masih bisa saya tanggapi biasa-biasa saja (karena dosen Pendidikan Kewarganegaraan, mata kuliah pertama, memberi dispensasi waktu selama setengah jam), tidak demikian pagi ini. Saya harus melakukan presentasi. Terang saja hal tersebut membuat saya gelisah dan panik.

Tapi kemudian, saat tiba di kelas setelah berjalan-semi-berlari dari tempat yang jaraknya lumayan jauh dari gedung kampus, saya bisa menarik napas lega karena dosen saya rupanya juga belum datang. Bahkan saya masih bisa santai sejenak sebelum kemudian melakukan presentasi.

Next, the second case. Beberapa waktu yang lalu, saya sangat bersemangat untuk mengikuti seleksi perekrutan anggota BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Namun niat tersebut kandas terbentur berbagai pertimbangan.

Hari ini, beberapa orang teman sekelas saya yang telah resmi menjadi anggota BEM, mayoritas tidak hadir karena sakit. Dua orang hadir dengan wajah merah menyaingi kepiting. Dalam hati, saya kembali bersyukur. Bukan karena saya tidak siap dengan berbagai tempaan fisik (mengikuti paskibra sewaktu SMA menempa saya menjadi sosok yang ‘tahan banting’). Tapi karena saya mendapati, bahwa pilihan saya tepat.

Sebelum memutuskan untuk tidak ikut seleksi, saya sempat berdoa meminta petunjuk apakah keputusan saya benar atau tidak. Sekarang saya sadar, saya mungkin kehilangan kesempatan untuk mencicipi berbagai pengalaman baru, tapi saya mempunyai lebih banyak waktu untuk belajar dan istirahat. Jujur, sampai saat ini saya masih belum bisa beradaptasi cukup baik dengan rutinitas kuliah. Baru minggu awal saja, saya sudah langsung jatuh sakit. Saya yakin, Tuhan akan memberikan pengalaman berharga bagi saya lewat jalan lain.

Berlanjut ke pengalaman ketiga. Hari ini saya memutuskan untuk pulang sendiri menggunakan Bus TransJakarta. Sejak awal kuliah, saya terlanjur menjadi anak manja karena selalu diantar-jemput. Sekaranglah pertama kalinya saya pulang sendiri dengan transportasi umum.

Awalnya saya mengeluh capek, panas, belum lagi harus berdesakan dan tidak mendapatkan tempat duduk. Tapi kemudian saya sadar, seharusnya saya bersyukur, karena diberikan kesempatan untuk menjadi lebih mandiri, juga hitung-hitung berolahraga dan membakar kalori. Berapa banyak orang di luar sana yang harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya karena tidak memiliki uang untuk membayar karcis bus? Berapa banyak orang di luar sana yang tidak bisa lagi berjalan?

Dari pengalaman dalam satu hari saja, saya bisa menemukan banyak hal yang mampu disyukuri dan dianggap sebagai sebuah kebahagiaan, di balik segala hal yang pada saat tersebut saya keluhkan sebagai sesuatu yang menyebalkan.

Sesuatu yang seringkali luput dari perhatian kita, karena kita terlanjur dikuasai oleh pemikiran untuk selalu mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Kenapa tidak kita ubah cara pandang kita terhadap sesuatu?

Dengan selalu berpikir positif, maka hidup kita akan terasa semakin damai dan menyenangkan. Saat sudah siap meledak marah atau bahkan memaki karena suatu hal yang kita anggap menyebalkan, coba diam sejenak. Pikirkan hal tersebut dari sisi positifnya, maka kita akan menemukan hal baik yang mampu mencegah kita untuk memaki dan mengeluh.

Picture : flickr.com

21 September 2011

Pulang ke 'Rumah'



Hampir sebulan ini, saya merasa ada sesuatu yang hilang.
Saya merasa seperti robot. Bangun tidur, kuliah (kadang benar-benar belajar, kadang menjadi tubuh tanpa raga dan pikiran di dalam kelas), pulang, tidur. Begitu terus selama berhari-hari. Segala hal yang saya lakukan seperti tidak memiliki arti. Waktu terus berjalan, saya merasa semakin tak karuan.
Saya sempat bertanya kepada diri saya sendiri ‘Apa saya sudah melupakan tujuan hidup saya?’ dan ‘Ke mana rencana-rencana yang selama ini sudah terpetakan dengan begitu jelas dalam pikiran saya?’.
Kalau dulu saya menulis hampir setiap hari, dengan perasaan gembira dan bersemangat. Sekarang saya hanya menulis kurang dari satu jam, itupun karena tuntutan pekerjaan dan status. Menulis, hal yang selama ini menjadi bagian hidup saya, perlahan mulai hilang begitu saja. Saya menulis karena kewajiban, bukan lagi karena saya suka dan saya mau. Begitu melihat layar putih microsoft word saja tangan saya sudah kaku. Pikiran pertama yang mencuat adalah rasa tidak niat yang mendominasi.
Saya takut, akan ada hari di mana saya tidak lagi merasa menulis adalah comfort zonesaya. Saya tidak mau itu terjadi. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Waktu, tugas kuliah, inspirasi, dan berbagai hal lain menjadi kambing hitam. Semuanya menjadi semacam pembenaran atas tindakan ‘gila’ saya yang melarikan diri dari rumah. Ya, saya mengumpamakannya dengan kabur dari rumah.
‘Rumah’ adalah tempat di mana kita merasa nyaman. Rumah yang saya maksudkan di sini bukan rumah dalam bentuk fisik. Keluarga dan sahabat, mereka lah 'rumah' kita. Tidak peduli di manapun, asalkan bersama mereka, kita merasa seperti kembali ke 'rumah', karena kita merasa nyaman. Begitu pula dengan menulis. Bagi saya, menulis adalah 'rumah', karena saya merasa nyaman ketika menulis.
Tapi kemudian, sebulan ini, saya malah melakukan aksi melarikan diri dari 'rumah'. Saya lari sejauh-jauhnya, sekencang-kencangnya dari 'rumah' saya. Meninggalkan semua kenyamanan, untuk pergi entah ke mana. Ke tempat yang sama sekali tidak jelas. Seperti melayang. Saya hampa, saya tersesat.
Sampai kemudian sesuatu menyadarkan saya. Seperti marka jalan, sesuatu ini memberi peringatan bahwa saya sudah berjalan terlalu jauh. Bahwa saya berjalan semakin dekat kepada jurang kehancuran.
Hanya orang nekad (atau bodoh?) yang memilih sesuatu yang belum jelas, padahal segala sesuatu yang baik sudah ada dalam genggamannya.
Tiba saatnya bagi saya untuk berhenti berlari. Sudah cukup waktu yang saya sia-siakan untuk sesuatu yang tidak jelas. Saatnya saya kembali ke jalur yang benar, jalur yang akan mengantarkan saya kembali ke 'rumah' saya.
Kenapa dulu saya bisa memiliki banyak ide cerita, tapi sekarang tidak? Kenapa dulu, sesibuk apapun saya, seletih apapun saya, saya masih bisa menghasilkan paling tidak suatu karya dalam bentuk tulisan? Apa bedanya dengan sekarang? Inspirasi bisa dicari dari segala sesuatu yang ada di sekeliling. Masih ada dua puluh empat jam dalam sehari.
NIAT dan KEMAUAN. Itu kuncinya. Sejenius apapun seseorang, dia tidak akan mungkin bisa berhasil tanpa ada kedua hal tersebut. Segala penemuan manusia di dunia ini terjadi karena ada NIAT dan KEMAUAN. Dua hal krusial tersebutlah yang bisa mengubah hidup seseorang, bahkan hidup jutaan orang di luar sana.
Saatnya saya menghentikan pelarian ini sekarang juga. Saatnya saya mencari penunjuk jalan bernama NIAT dan KEMAUAN. Saatnya saya kembali menjadi 'manusia', bukan lagi robot bernapas. Saatnya saya pulang ke 'rumah'...
Picture : odnoklassniki.ru

14 September 2011

Officially 18th





Rasanya baru kemarin saya merayakan ulangtahun yang ke-17. Dan sekarang usia saya sudah 18. Entah mengapa rasanya 365 hari berlalu dengan sangat cepat. Banyak yang telah terjadi selama setahun ini. Usia 17 adalah fase di mana saya merasakan banyak sekali pengalaman baru, perubahan, juga harus beradaptasi dengan cepat. Dimulai dengan masa-masa pra hingga pasca kelulusan, sampai akhirnya status saya kini resmi menjadi mahasiswi.

Pada hari ini pula, saya disadarkan akan satu hal. Hal yang mungkin saya nilai sepele selama ini, tapi nyatanya cukup krusial. Perhatian.

Mulai pukul sebelas malam tanggal 12, sudah ada beberapa orang yang mengucapkan selamat via Facebook. Sampai beberapa menit sebelum pergantian tanggal 13 pun, ucapan selamat terus berdatangan mulai dari secara langsung, via telepon, BlackBerry Messenger, Twitter, Facebook, dan SMS. Bahkan beberapa di antara orang yang mengucapkan selamat melalui Facebook tidak pernah saya kenal.

Kenyataan ini benar-benar menohok saya. Selama ini, ketika membaca e-mail notifikasi kiriman Facebook yang berisi tentang siapa saja teman saya yang berulang tahun dalam seminggu ke depan, saya tidak begitu menaruh perhatian. Apalagi kepada orang yang tidak saya kenal, yang entah mengapa bisa ada dalam daftar teman saya. Saya selalu berpikir ‘Saya tidak mengenalnya, jadi untuk apa mengucapkan selamat ulang tahun?’. Sungguh, egois sekali diri saya ini.

Tanpa dapat dielakan, setiap kali saya membaca ucapan selamat, entah dari siapapun orangnya, kenal ataupun tidak, saya sudah sangat senang. Berlebihan? Mungkin. Tapi saya senang karena menyadari banyak orang yang menaruh perhatian kepada saya. Se-simple apapun ucapan itu, seperti hanya tulisan ‘Happy birthday’, atau yang disertai serangkaian doa, semuanya menunjukkan perhatian mereka terhadap eksistensi saya. Bahwa mereka ikut mendoakan saya di hari spesial saya.

Perasaan bersalah mengganjal di hati saya. Betapa kurang pedulinya saya selama ini. Hanya mengetik ucapan selamat, tidak akan membuat jari saya patah. Hanya perlu beberapa detik dari waktu selama 24 jam yang saya miliki dalam sehari. Apa susahnya itu semua? Mengapa saya perhitungan sekali? Kalau saya kenal, maka saya baru akan memberi selamat?
Lebih perhatian kepada orang-orang di sekitar saya. Itulah PR saya di usia 18 ini.

Untuk itu, saya mencoba untuk sedikit ‘menebus dosa’ dengan membalas ucapan mereka satu per satu. Ada beberapa orang yang memilih untuk membalas ucapan selamat lewat statusnya (contoh : Thank’s for the wishes, guys), atau meng-copy-paste ucapan terima kasih kepada setiap orang yang memberi selamat. Itu hak mereka, sepenuhnya terserah mereka. Tapi saya memilih untuk membalas satu per satu, dengan bahasa yang berbeda-beda, karena saya ingin mereka tahu, saya sangat menghargai perhatian mereka. Tidak hanya dilatarbelakangi formalitas semata. Saya menulis ‘terima kasih’ karena memang saya benar-benar berterima kasih. Even though i’m so careless to people around me, they still pay attention to me.

Mulai sekarang, saya akan lebih perhatian lagi kepada orang-orang di sekitar saya. Karena saya telah merasakan sendiri, sebuah perhatian, sekecil apapun itu, mampu membuat sebuah senyuman merekah di wajah si penerima perhatian, bahkan mungkin mampu menghangatkan perasaan mereka.

Thank you for all the birthday wishes! I’m so blessed to be surrounded by great person like all of you -xoxo-

Picture : private collection

07 September 2011

Mendapatkan Apa yang Kita Butuhkan



Saat kita meminta sesuatu kepada Tuhan, kemudian apa yang kita nantikan itu tidak kunjung datang, tidak juga terwujud, kita langsung marah. Kita langsung menuding Tuhan itu tidak adil, tidak lagi sayang kepada kita. Berbagai tudingan lain kita keluarkan, semata-mata demi mencurahkan protes kita, menunjukkan amarah kita. Kita seolah diracuni dengan paradigma "Segala sesuatu yang kita minta dalam doa kita akan dikabulkan oleh Tuhan". Sebuah paradigma yang menyedihkan.
Karena kenyataannya, tidak semua yang kita minta pasti akan dikabulkan. Tuhan lah yang menciptakan kita. Tuhan itu Maha Besar, Maha Agung, Maha Adil, maha segala-galanya. Dialah yang paling tau apa yang terbaik untuk segala ciptaan-Nya. Oleh sebab itu, Tuhan pasti punya alasan kuat mengapa Ia tidak mengabulkan doa kita.
Ada banyak kemungkinan. Bisa jadi, memang cara kita meminta yang salah. Atau bisa juga, Tuhan punya pertimbangan lain. Tidak memberikan apa yang kita minta bukan berarti Ia tidak lagi menyayangi kita. Justru, itulah bukti cinta-Nya yang begitu besar. Cara berpikir kita dengan Tuhan jauh berbeda. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik pula di mata-Nya. Mungkin karena itulah Tuhan tidak memberikan apa yang kita minta. Pastinya Tuhan tengah merencanakan sesuatu yang jauh lebih indah, sesuatu yang sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Atau mungkin, waktunya yang belum tepat. Kita manusia begitu kecil di hadapan Tuhan. Karenanya, kita tidak mampu menebak apa yang sedang Ia siapkan untuk kehidupan kita.
Bahkan ada saatnya di mana kita sudah lupa akan permohonan kita tersebut. Tapi tidak begitu dengan Tuhan. Ia akan selalu ingat dengan apa yang dibutuhkan oleh ciptaan-Nya. Bahkan tanpa kita meminta pun, sudah berapa banyak kelimpahan yang Ia berikan kepada kita? Tidak terhitung! Tanpa meminta nafas kehidupan, hari baru, udara-matahari-air untuk bertahan hidup pun, Tuhan sudah memberikannya secara cuma-cuma.
Saya suka sekali dengan ilustrasi di bawah ini. Sebuah ilustrasi yang menampar saya. Menyadarkan saya dari paradigma berpikir saya yang menyedihkan. Menanamkan pengharapan baru, sukacita baru. Mendekatkan diri saya pada Tuhan :
Aku meminta setangkai bunga segar pada Tuhan, 
Ia memberiku kaktus berduri. 
Aku meminta binatang mungil nan cantik pada Tuhan, 
kemudian Ia memberiku ulat bulu. 
Aku sempat sedih! Protes! 
Dan aku kecewa... 
Betapa tidak adilnya Tuhan. 
Namun kemudian, lama-kelamaan kaktus itu mulai berbunga. 
Sangat indah! 
Dan ulat bulu itupun tumbuh, 
menjadi kupu-kupu yang sangat cantik.
Itulah jalan Tuhan, indah pada waktunya. 
Tuhan tidak memberi apa yang kita inginkan, 
namun memberikan apa yang kita perlukan. 
Kadang kita sedih, kecewa, terluka. 
Tapi jauh di atas segalanya, 
Ia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita.
Aku meminta kekuatan, 
dan Tuhan memberiku kesulitan untuk kuhadapi agar aku menjadi lebih tegar. 
Aku meminta kebijaksanaan, 
dan Tuhan memberiku permasalahan untuk kuselesaikan agar aku berpikir. 
Aku meminta kesejahteraan, 
dan Tuhan memberiku otak dan tenaga supaya aku bisa bekerja. 
Aku meminta keberanian, 
dan Tuhan memberiku rintangan untuk kuhadapi. 
Aku meminta cinta, 
dan Tuhan memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong dan kusayangi. 
Aku meminta kemurahan hati, 
dan Tuhan memberiku kesempatan. 
Aku tidak mendapatkan apa yang kuminta. 
Aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan. 
Tapi aku mendapatkan apa yang kubutuhkan.
Karenanya, ketika kita merasa tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, inginkanlah apa yang kita dapatkan. Dengan begitu, kita akan mensyukuri apapun yang kita peroleh.
Picture : flickr.com