28 April 2012

All about Balance



Satu hal yang selalu saya pertanyakan sampai sekarang: Setiap kali musim ujian, teman-teman saya beramai-ramai bertransformasi menjadi ‘anak rumahan’ (baca: menolak ajakan ke manapun, tidak peduli sebentar atau lama). Semuanya sibuk menggunakan alasan seragam 'Gue mau belajar'.

Saya tahu sebagai pelajar  ̶  mahasiswa sekalipun (yang sering dianggap santai)  ̶  tetap harus belajar.

Belajar dengan baik ---> dapat nilai bagus ---> IPK tinggi ---> diterima kerja di perusahaan unggulan ---> peningkatan taraf hidup ---> masa depan terjamin.

Tapi mereka juga tidak akan belajar selama 24 jam non-stop kan? Perhaps too much of everything is bad, including study. Tetap harus ada waktu sejenak untuk rileks.

Kalau saya pribadi saat ujian akan tetap menyediakan waktu untuk melakukan hal yang saya suka: nonton film dan baca buku di luar buku pelajaran. Bukan bermaksud untuk meremehkan esensi ujian itu sendiri. Saya melakukannya untuk menjaga agar otak saya tetap waras. Agar pikiran saya menjadi lebih fresh, sehingga daya tampung untuk materi ujian lebih besar. Supaya saya bisa belajar dengan lebih efektif dan efisien.

Everything in life is about balance, I believe in that. Mungkin karena saya mahasiswa fakultas ekonomi, saya sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang balance. Kan memang sudah tugas saya untuk membuat agar jurnal dan financial statement yang saya kerjakan balanceboth in debit and credit side.

Hal tersebut tidak hanya berlaku dalam urusan jurnal, tapi juga dalam kehidupan.

Belajar dan bersantai sejenak, keduanya dalam porsi yang seimbang. Jangan terlalu memaksakan diri belajar tanpa istirahat sedikitpun, tapi jangan juga terlalu lama beristirahat (baca: berleha-leha) sampai lupa belajar.

Picture: flickr.com

18 April 2012

Takut pada Peraturan



“Penyebab negara ini tidak kunjung berkembang adalah karena sumber daya manusianya hanya takut pada manusia, bukan kepada peraturan.”

Saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan oleh dosen Ekonomi Makro saya tersebut. Alasannya? Karena terkadang saya juga masuk dalam kategori sumber daya manusia seperti itu.

Bukti konkritnya, banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi karena pengguna jalan hanya takut pada manusia, dalam hal ini polisi lalu lintas, bukan kepada peraturan lalu lintas yang berlaku. Saat lampu lalu lintas berwarna merah, menandakan bahwa mereka seharusnya berhenti. Saat ada polisi, mereka akan mematuhi aturan ini supaya tidak kena tilang. Tapi saat tidak menemukan tanda-tandar keberadaan polisi, tanpa pikir panjang mereka langsung menerobos lampu merah, yang tidak jarang mengantar mereka pada kecelakaan berujung maut.

Realita di atas hanyalah satu dari sekian banyak hal yang mendukung teori yang tertulis di awal posting.

Melalui posting ini, saya sama sekali tidak bermaksud untuk menghakimi siapapun. Tidak juga bermaksud membandingkan sumber daya Indonesia dengan negara lain. Sebaliknya, saya hanya ingin mengajak kita semua merefleksi diri kita masing-masing. Seperti yang sudah saya sebutkan, saya juga terkadang masuk ke dalam kategori sumber daya manusia seperti itu.

Karenanya, marilah kita berjuang merubah paradigma keliru yang sudah terlanjur mendarah daging bagi sebagian besar komunitas masyarakat, dimulai dari diri kita sendiri.

Biasakan diri untuk selalu menaati peraturan yang berlaku, dimulai dari hal-hal yang kelihatan sederhana dan tidak penting. Buang jauh-jauh pikiran ‘Peraturan dibuat untuk dilanggar’. It’s sooo last year. Pikiran semacam itu cukup menjadi pikiran saya saat masih duduk di bangku SMP.

Peraturan dibuat dengan alasan yang jelas dan pemikiran yang matang. Peraturan dibuat karena memiliki tujuan positif.

Sama halnya seperti ajaran agama kita masing-masing. Apa kita selama ini menghindari hal-hal yang dikatakan agama buruk hanya semata-mata karena ada orang lain yang mengawasi? Atau karena kita yakin Tuhan yang tidak bisa kita lihat wujud-Nya secara fisik tidak pernah sekalipun mengalihkan perhatian-Nya dari kita? Bahwa perbuatan buruk, dengan atau tanpa dilihat dan diketahui orang lain tetap saja merupakan sebuah dosa?

Ayo sama-sama bertransformasi menjadi sumber daya manusia yang jauh lebih berkualitas, dimulai dari sekarang dan dari diri kita masing-masing!

Picture : tumblr.com 

16 April 2012

Menolong dengan Bijaksana



Di tepi sungai, ada seorang pertapa yang sedang melakukan meditasi. Di sela-sela meditasi tersebut, ia mendengar suara berisik gemericik air yang tidak biasa. Ternyata ada seekor kepiting yang sedang berusaha menyelamatkan diri agar tidak terseret arus sungai yang deras. Terdorong oleh belas kasihan, pertapa tersebut menjulurkan tangannya untuk menolong si kepiting. Tentu saja kepiting itu mencapitnya, menimbulkan luka pada tangan si pertapa. Tapi karena niatnya memang menolong, pertapa tersebut tetap merasa senang. Kejadian seperti itu berlangsung berkali-kali, sampai akhirnya tangan si pertapa bengkak akibat capitan kepiting-kepiting yang ditolongnya. Kemudian datanglah pertapa lain yang lebih senior. Melihat tangan pertapa muda, ia menanyakan penyebabnya. Pertapa muda pun menjelaskan kejadian yang dialaminya. Kemudian pertapa tua mengambil ranting pohon dan menunjukkan kepada si pertapa muda, bagaimana cara menolong kepiting tanpa perlu melukai tangannya.
Dari ilustrasi singkat ini, tentu saja ada nilai yang bisa kita ambil.

Menolong sesama yang sedang kesusahan memang sebuah kewajiban. Tapi kita juga harus bisa bertindak dengan bijaksana. Menolong dengan tulus bukan berarti mengorbankan diri sendiri, kan?

Contohnya dalam kehidupan modern sehari-hari bisa diilustrasikan sebagai berikut:

Teman kita kebetulan tidak bisa mengikuti mata kuliah A karena ada urusan lain, kemudian minta tolong kita untuk menandatangani absennya, dengan alasan dosen mata kuliah tersebut jarang mengabsen mahasiswa dengan memanggil nama satu per satu. Karena kasihan dan berniat membantu, kita pun menandatangani absennya. Tapi sialnya, hari itu dosen yang bersangkutan mengabsen satu per satu dengan memanggil nama. Apa yang terjadi selanjutnya? Bukankah kita dan teman yang niatnya kita bantu itu malah sama-sama mendapatkan sanksi?

Intinya, bantulah sesama yang membutuhkan dengan setulus hati, juga dengan bijaksana :)

Picture : thefaintestspark.tumblr.com