26 August 2014

Learning Process


Semua manusia di dunia ini akan terus belajar selama hidupnya. Sama halnya dengan bernapas, makan dan minum, serta tidur. Konteks belajar yang saya maksud bukan belajar formal dengan duduk manis di dalam kelas, namun belajar dalam konteks luas. Proses belajar yang tidak terikat waktu maupun jadwal, dengan guru bisa berupa apa sajasiapa saja.

Kalau disuruh menceritakan apa saja yang saya pelajari setiap harinya, mungkin saya bisa sekalian menulis novel. Because there’s a bunch of it. Mulai dari orangtua, teman-teman, bahkan dari orang asing yang saya temui di jalan. Karenanya, jauh lebih mudah apabila saya menceritakan hal apa yang dipelajari teman saya dari saya.

Saat sedang mengobrol dengan seorang teman, tiba-tiba dia menyeletuk, “Lo tahu nggak, Ve, ada satu hal penting yang gue pelajari sejak temenan sama lo.” Melihat sebelah alis saya terangkatbingung karena celetukannya yang sangat random—dia pun melanjutkan, “Gue jadi sadar kalau gue nggak seharusnya belajar terlalu ngotot pas musim ujian. Kayak yang lo bilang, belajar memang harus, tapi refreshing juga penting,” tutupnya dengan senyum, yang langsung menulari saya.

Saya mengerti maksudnya. Satu hal penting yang ‘katanya’ dipelajari dari saya itu memang sudah menjadi semacam motto hidup saya sejak SD.

Mungkin cara belajar ini tidak bisa dipraktekkan oleh semua orang, karena setiap orang memiliki cara belajarnya masing-masing, serta kemampuan belajar yang berbeda-beda. Biasanya yang saya lakukan saat musim ujian datang adalah menyeimbangkan waktu antara belajar dan bersenang-senang. Saya bukan tipe orang yang bisa belajar berjam-jam nonstop. Memelototi berbagai rumus, membaca materi, maupun mengerjakan soal-soal latihan selama dua jam merupakan limit saya. Lebih dari itu, yang ada saya berakhir dengan pose salah satu sisi wajah menempel ke meja sambil tidur-tiduran atau mencoret-coret kertas. Atau kalaupun tubuh saya tetap dalam posisi belajar, pikiran saya sudah melanglang buana ke mana-mana.

Didasari hal tersebut, saya mulai berpikir, “Gue nggak bisa terus-terusan belajar dengan cara kayak gini.” Kemudian lahirlah ide untuk mengistirahatkan tubuh dan otak saya sejenak. Caranya bisa bermacam-macam, yang intinya: lakukan apapun yang kita sukai. Nonton, main games, baca novel/komik, etc. Tapi tahu diri juga, jangan sampai kebablasan. Meski rasanya pasti malas untuk kembali mulai menyentuh buku pelajaran, tapi kita harus mengikuti komitmen yang telah kita buat dengan diri kita sendiri.

Tidak jarang saya mendapat tatapan penuh tuduhan ‘Ini-kan-lagi-musim-ujian-kok-lo-bisa-bisanya-pergi-nonton’ dari teman-teman saya yang terlalu strict dengan peraturan yang mereka buat sendiri mengenai ‘standby belajar seharian, hanya boleh take a break untuk mandi-makan-tidur’. Tapi kembali lagi, setiap orang punya cara masing-masing dalam belajar. Saya malah merasa bisa lebih cepat menyerap materi ujian dengan belajar ala saya tersebut. Ujian dapat nilai bagus, jauh dari stres, dan hatipun senang he he he.


Saya tidak menyangka, gaya belajar saya itu bisa ikut diadopsi oleh teman saya. Lebih tidak menyangka lagi, teman saya itu menganggapnya sebagai hal penting yang dia pelajari dari saya. Meskipun terdengar sepele, tapi saya tetap senang karena bisa menginspirasi orang lain. Apalagi kalau gaya belajar saya itu bisa membuatnya belajar dengan lebih efektif dan efisien.

Picture: flickr.com

06 December 2013

Depends Upon Ourselves


Selama sembilan minggu terakhir, saya mengikuti sebuah drama Korea berjudul The Heirs yang sedang tayang. Ini adalah drama kedua yang saya ikuti sebelum ceritanya berakhir. Membuat saya rela menanti-nanti setiap minggu hanya demi mengetahui kelanjutan ceritanya.

Drama ini memang sudah sejak awal tahun disebut-sebut akan menjadi drama fenomenal 2013, meski banyak pula yang menanggapinya dengan skeptis. Terlepas dari pro/kontra mengenai plot, aktor, dan berbagai aspek dari drama ini, saya justru ingin membahas mengenai karakter utama pria dalam drama ini, Kim Tan.

Singkatnya, Kim Tan terlahir sebagai anak haram dalam keluarga disfungsional. Meski berlimpahan materi, kenyataannya dia sama sekali tidak bahagia dengan kehidupannya. Dia disingkirkan ke Amerika untuk tinggal sendiri di sana, karena statusnya sebagai anak haram. Sampai suatu hari dia bertemu dengan seorang perempuan bernama Cha Eun Sang, dan kebetulan menyaksikan langsung permasalahan antara perempuan tersebut dengan sang kakak, yang mirip dengan masalahnya sendiri.

Setelah pertemuan secara kebetulan tersebut, Kim Tan mulai menyukai Cha Eun Sang. Seiring berjalannya waktu, rasa suka tersebut mulai berubah menjadi obsesi. Baginya, yang menjalani hidup hanya sebagai sebuah keharusan‒tanpa tujuan atau mimpi‒Cha Eun Sang pun menjelma menjadi mimpinya. Sumber kebahagiaan yang sejak lahir tidak dimilikinya, juga alasan baru untuk menjalani hari-harinya.

Sampai akhirnya, masalah khas yang hampir selalu terjadi di antara hubungan si kaya dengan si miskin– ketidaksetujuan orangtua si kaya—membuat Cha Eun Sang yang juga sudah mulai menyukai Kim Tan, terpaksa meninggalkannya.

Lalu apa yang terjadi? Kim Tan berubah menjadi sosok yang sangat menyedihkan. Hidupnya berubah jauh lebih kacau dibandingkan sebelum Cha Eun Sang masuk ke dalamnya. Terus-terusan menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya, bahkan sampai menghancurkan kamar dan berkelahi. Singkatnya, rebelling. Layaknya zombie, Kim Tan merasa tidak lagi memiliki alasan untuk bertahan hidup. Bahwa semua kebahagiaan sudah ditarik secara paksa dari hidupnya.

Melihat dua episode yang diisi dengan kehancuran Kim Tan, akhirnya membuat saya gerah sendiri. Membuat saya teringat akan sebuah quotes yang mengatakan “Happiness depends upon ourselves”, yang bahkan sempat saya jadikan wallpaper handphone.


Kita semua berhak, bahkan sebenarnya wajib bermimpi. Tapi menjadikan orang lain‒tidak peduli seberapa besar kita mencintai orang tersebut‒sebagai mimpi, benar-benar sesuatu yang menyedihkan. Kebahagiaan seseorang seharusnya berakar dari orang itu sendiri. Dia yang mempunyai kehendak penuh untuk memutuskan akan menjalani hidupnya seperti apa. Akan merasa bahagia atau terus-terusan merasa menjadi orang paling menderita di dunia. Bukan orang lain, termasuk keluarga, pasangan, atau siapa pun itu.

Mimpi seharusnya membuat kita termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Karena dengan bermimpi, kita memiliki arah tujuan hidup, sehingga kita akan terus meng-upgrade diri untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi dalam rangka mewujudkan mimpi itu.

Apa jadinya kalau mimpi kita justru adalah orang lain? Setiap manusia pasti suatu saat akan meninggal. Setiap manusia pasti minimal pernah sekali mengalami peristiwa ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. Kalau orang yang kita sebut-sebut sebagai mimpi kita pergi meninggalkan kita‒untuk selama-lamanya karena maut atau alasan lain‒lantas berarti itu adalah hari kiamat untuk kita? Tidak lagi ada yang perlu diperjuangkan? Tidak ada lagi alasan untuk bertahan hidup? Sayang sekali kalau hidup yang cuma sekali ini harus disia-siakan seperti tu.

Don’t rely on someone else for your happiness and self worth. Only you can be responsible for that. If you can’t love and respect yourself, no one else will be able to make that happen. Accept who you are completely‒the good and the bad. And make changes as you see fit. Not because you think someone else wants you to be different.” –Stacey Charter

Ciptakan kebahagian kita sendiri. Itu kuncinya. Orang lain yang kita cintai, jadikan mereka sebagai pelengkap kebahagiaan kita, bukan sebagai sumber kebahagiaan. Dengan eksistensi mereka dalam hidup kita, kebahagiaan yang berhasil kita ciptakan untuk diri kita sendiri, akan terasa lebih bermakna. Jangan sampai tanpa eksistensi mereka, lantas hidup kita berubah menjadi neraka.

Bangun mimpi yang berorientasi terhadap kebaikan diri kita. Mungkin kedengarannya egois. Tapi kalau kita sudah memiliki mimpi yang berorientasi demi kebaikan kita, maka efeknya pada saat proses memperjuangan mimpi itu sampai saat mimpi itu terwujud, juga akan menular dengan kebaikan orang di sekitar kita, atau mungkin ruang lingkup yang lebih besar.


Contoh sederhananya adalah orang yang bermimpi menjadi dokter. Mimpi itu membuatnya terus meng-upgrade diri menjadi pribadi lebih baik, tentunya dengan rajin belajar, disiplin diri, dan sebagainya. Efek baik itu juga tidak hanya terjadi pada dirinya. Di saat dia berhasil mewujudkan mimpinya, akan ada banyak orang yang merasakan manfaat positif tersebut, misalnya pasien.

Pictures: noukka.devianart.com | tumblr.com

20 August 2013

10 Tahun Bersamamu, 10 Tahun Tanpamu


20 Agustus 2003 – 20 Agustus 2013

Engkong, begitu panggilan saya untuk beliau.

Engkong pergi 26 hari sebelum ulang tahun saya yang ke-10. Tak banyak yang melekat dalam ingatan saya tentang sosok beliau, meski saya sempat tinggal selama dua tahun bersama kakak sepupu pria saya di rumah beliau. Mungkin karena usia saya yang masih terlalu muda saat beliau dipanggil menghadap-Nya, juga karena tak terasa sudah sepuluh tahun berlalu sejak hari itu.

Engkong dalam ingatan saya adalah sosok kakek yang enerjik, banyak ide, hangat tapi tegas, dan berprinsip.

Engkong yang selalu menjemput (terkadang juga mengantar) saya dan kakak sepupu saya sekolah dengan bajaj. Saya masih TK saat itu, sementara sepupu saya sudah duduk di bangku sekolah dasar.

Engkong yang tidak pernah melewatkan tayangan berita di TV, baik itu berita pagi, siang, maupun petang.

Engkong yang tidak pernah lupa minum cuka apel setiap hari karena mengetahui bahwa minuman itu baik untuk jantung.

Engkong yang suka memoleskan potongan mentimun di siku tangan beliau setelah makan, entah demi tujuan apa.

Engkong yang selalu mengingatkan secara halus saat Emak (panggilan saya untuk nenek saya) bicara dengan suara terlalu keras.

Engkong yang mahir memperbaiki berbagai barang, juga menambahkan roda di kaki lemari guna memudahkan ketika hendak dipindah-posisi.

Engkong yang sering mengajari saya banyak hal, mulai dari hitung-hitungan, bahasa Inggris, sampai ‘pelajaran hidup’.

Engkong yang sering memuji saya ketika mendapat nilai bagus atau saat menjadi ranking kelas.

Engkong yang memarahi sepupu saya yang kadang bandel dan menjahili saya (walau untuk kasus ini saya sering merasa bersalah setiap mengingatnya karena saya termasuk cengeng kala itu).

Engkong yang menegur kepala sekolah TK saya karena membela teman yang menjahili saya sehingga membuat saya sempat takut pergi ke sekolah.

Engkong yang selalu mengharapkan cucu-cucu beliau yang kala itu terdiri dari tiga pria dan tiga perempuan (dua tahun setelah kepergian beliau bertambah satu cucu perempuan) bisa menjadi orang yang berguna, berhasil, dan berbakti pada orangtua masing-masing.

Engkong yang pergi secara mendadak setelah jatuh sakit (masalah pencernaan) selama dua hari. Bahkan saya dan ibu saya sempat menginap di rumah beliau saat mendengar kabar beliau sakit.

Sayangnya saya tidak berada di sisi beliau pada saat-saat terakhir. Karena ibu saya tidak menyangka keadaan Engkong separah itu dan karena pertimbangan saya masih kecil jadi rentan tertular penyakit, saya tidak diajak ikut serta ke rumah sakit.

Rabu dini hari (sekitar pukul empat), ibu saya ditelepon kakaknya–Om saya–dan langsung datang ke rumah sakit. Rupanya saat itu jantung Engkong sudah tidak lagi berdetak, namun Om saya tidak menyampaikan lewat telepon karena takut ibu saya syok.

Saya ingat, saya masih pergi sekolah hari itu. Saya akhirnya mengetahui bahwa Engkong sudah pergi untuk selamanya sekitar pukul sepuluh, setelah ibu saya datang ke sekolah untuk minta izin membawa saya pulang pada wali kelas.

Seperti yang sudah saya tuliskan di awal, tidak banyak yang saya ingat tentang sosok beliau, juga pengalaman saya menghabiskan waktu dengan beliau. Tapi satu hal yang saya tahu pasti. Saya merasa beruntung pernah mengenal beliau selama sepuluh tahun. Banyak hal baik, juga cara pandang positif yang saya pelajari dan dapatkan dari sosok beliau.



Semoga Engkong tenang dan bahagia di sisi-Nya.


Pictures : private collection

18 August 2013

Sebuah Perjalanan di atas Rel


Sore itu, saya sedang chatting via WhatsApp dengan seorang sahabat yang sudah saya kenal sejak pertama kali masuk kelompok bermain. Kebetulan dia yang kuliah di HongKong, sedang berada di Jakarta dalam rangka liburan. Sementara saya sedang berada di Semarang, dengan tujuan utama menjenguk nenek dan keluarga tante saya, yang disambi dengan liburan. Sahabat saya itu kemudian menanyakan kapan saya akan kembali ke Jakarta, supaya kami bisa janjian bertemu.

  • Gue balik Jumat pukul 4 sore. Naik kereta jadi sampainya sekitar pukul 10 malam.
Tak lama kemudian dia membalas:

  • Asik banget Phe (panggilannya untuk saya). Gue pengin nih naik kereta.
Sambil tertawa, kedua jempol saya sibuk bergerak-gerak di atas keypad.

  • Enak apanya? Biasa aja, Neng.
Hanya percakapan santai dan ringan. Tapi herannya, melekat di pikiran saya.

Hari kepulangan saya ke Jakarta pun tiba. Saat kereta masih diam di Stasiun Tawang, saya kembali mengulang percakapan dengan sahabat saya beberapa hari sebelumnya di dalam hati.

Tidak ada yang spesial dengan naik kereta. Apalagi, saat itu bukan kali pertama saya memanfaatkan jasa transportasi massal ini.

Kemudian saya mengingat menit-menit yang saya lalui selama perjalanan menuju Semarang, yang juga ditempuh dengan kereta. Saat itu, entah apa yang membuat sepasang mata saya terpaku menatap pemandangan di luar jendela. Tak lagi tertarik untuk menonton film yang sengaja diputar, menyalakan laptop, atau membaca. Hanya lagu-lagu dalam playlist smartphone yang menjadi teman perjalanan.

Pemandangannya standar. Langit biru, sawah, ladang jagung, pepohonan, pemakaman penduduk setempat, jalan raya dengan kendaraan roda dua dan empat yang berhenti di belakang palang, sungai, jembatan, juga laut yang birunya terlihat menyatu dengan langit.

Namun, pemandangan yang berkelebat cepat seiring laju kereta, terasa begitu familiar. Kemudian saya menyadarinya. Familiar, karena sama seperti kehidupan itu sendiri. Berjalan begitu cepat. Hari demi hari terlewat tanpa kita menyadarinya. Sepenuhnya kendali kita. Mau membiarkannya berlalu begitu saja, atau mencoba menikmati gulirnya.

Sama seperti delapan hari yang saya lalui di Semarang. Tak terasa hari demi hari terlewat, sampai akhirnya tiba hari kepulangan.

Seperti hari-hari liburan pergantian semester selama hampir dua bulan yang tak terasa hanya tersisa beberapa hari saja.

Semua yang saya lihat di balik jendela kereta adalah hari-hari itu. Kadang terasa sangat standar, tidak istimewa, begitu-begitu saja. Kita cenderung membiarkan hari semacam itu berlalu begitu saja. Padahal mungkin saja hari itu bisa menjadi di luar standar, istimewa, tidak begitu-begitu saja, di saat kita mencoba menikmatinya.

Kembali ke sore itu. Kebetulan tempat duduk saya diapit oleh para penumpang yang membawa putra-putri mereka. Di kursi depan, belakang, samping, dua baris di depan. Saya sempat merasa perjalanan pulang kali ini akan menjadi tidak menyenangkan dengan keributan atau tangisan yang ditimbulkan para balita itu. Ibu saya dengan kalemnya mengatakan, “Anggap saja latihan, supaya kamu bisa tahan sabar.”

Dan ternyata pemikiran saya salah. Perjalanan enam jam bahkan tidak terasa sama sekali. Saya menyumbat kedua telinga saya dengan earphone. Menonton film Taxi 2 yang ditayangkan, membaca novel, mengamati sekitar. Kali ini tanpa menatap keluar jendela seperti yang saya lakukan dalam perjalan keberangkatan, karena kegelapan langit menyembunyikan sawah, ladang jagung, pepohonan, pemakaman penduduk setempat, jalan raya dengan kendaraan roda dua dan empat yang berhenti di belakang palang, sungai, jembatan, juga laut.

Tapi saya merasa nyaman. Bahkan di saat saya menikmati santap malam sederhan berwujud mie instan tanpa mengenakan earphone, saya tidak terganggu dengan kebisingan di dalam gerbong yang didominasi oleh tiga anak yang duduk tepat di belakang kursi saya. Entah seperti perkataan ibu saya, ‘tahan sabar’, atau karena saya memilih untuk mengabaikannya.

Maka, saya pun mengamini balasan sederhana dari sahabat saya. Naik kereta yang mulanya saya katakan biasa saja, ternyata bisa menjadi sebuah perjalanan yang membuat saya menemukan sesuatu di luar kata ‘biasa’.

Picture : tumblr.com

20 July 2013

Arogansi Profesi


Beberapa waktu yang lalu, saya sempat terjebak bersama penumpang Bus TransJakarta lainnya, dalam sebuah perkelahian antara petugas penjaga pintu bus dengan seorang penumpang. Perkelahian yang seharusnya tidak perlu dan tidak pantas terjadi. Alasannya sederhana, karena penumpang yang mengaku-ngaku berprofesi sebagai wartawan tersebut, tidak terima dengan peringatan dari petugas bus.

Keadaan di bus gandeng koridor 1 menuju Kota memang cukup ramai di bagian belakang. Hal itulah yang menyebabkan ada beberapa pria yang berdiri di area khusus wanita. Sudah sejak awal si petugas bus memperingatkan para penumpang pria untuk bergerak ke belakang.

Saat naik bus pertama kali, sebenarnya saya dan teman saya sempat membicarakan mengenai gaya bicara petugas bus yang terkesan nyolot.

‘Kalau ada yang tidak senang dengan gayanya, bisa panjang nih ceritanya.’ Pikiran semacam itu bahkan sempat singgah dalam benak saya.

Benar saja, setelah sekian lama, akhirnya si penumpang naik darah. Dia berseru gusar kepada si petugas, “Coba saja kamu ke sini. Lihat! Tidak ada tempat! Bagaimana caranya saya bisa berdiri di sana? Dari tadi saya perhatikan gaya kamu itu tidak pantas!”

Si petugas tidak mau kalah. Tetap teguh memegang peraturan.

“Kamu tidak tahu siapa saya? Saya ini wartawan! Saya bisa menulis nama dan gaya kamu ini di tulisan saya!” seru si penumpang untuk kedua kalinya. Kali ini diiringi protes dari penumpang lain. Kebanyakan menanyakan kredibilitas penumpang tersebut.

“Wartawan apa gayanya seperti ini?”

“Memangnya kenapa kalau wartawan? Sok banget!”

Bahkan ada juga yang mengatakan, “Wartawan apa? Wartawan kasus kriminal ya, makanya gayanya seperti itu?”

Hasilnya, banyak penumpang yang semuanya wanita, jadi berada di sisi si petugas.

Supir bus sampai merasa perlu turun tangan melerai keduanya. Peringatan lewat pengeras suara yang tidak digubris, membuat si supir menghentikan laju bus, kemudian memasuki TKP.

Untungnya, perselisihan dapat dihentikan. Mungkin keduanya akan menyelesaikan unfinished business mereka di halte akhir, seperti saran dari supir. Entahlah.

Yang dapat saya simpulkan, perkelahian tersebut terjadi karena arogansi profesi dari kedua belah pihak. 

Sebagai petugas bus, dia merasa bisa mengatur penumpang. Memang, apa yang dilakukannya semata demi menjalankan peraturan, sekaligus menjaga kenyamanan penumpang. Sayangnya, dengan cara yang memang kurang sesuai. Sebagai bagian dari usaha jasa, seharusnya dia bisa menyampaikannya dengan cara lebih baik.

Sementara si penumpang, jelas menyalahgunakan profesinya untuk sesuatu yang tidak tepat. Memangnya kenapa kalau dia wartawan? Hanya karena dia bisa membuat artikel atau pemberitaan, lantas dia merasa bisa melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya? Bahkan sampai menggunakan profesi sebagai modal ancaman.

Bukankah dengan memuat berita mengenai kejadian tersebut, justru akan menghancurkan reputasinya? Kecuali kalau dia mengedit beberapa bagian. Which is, sangat memalukan untuk dilakukan oleh seseorang berprofesi seperti yang dia bangga-banggakan.

Profesi adalah tanggung jawab, bukan sesuatu yang perlu dibangga-banggakan atau bahkan dimanfaatkan untuk hal-hal tertentu. Untuk alasan apapun, memanfaatkan persepsi yang mungkin sudah terbentuk dalam masyarakat karena profesi yang dijalani, sungguh merupakan tindakan pengecut, kekanakan, dan memalukan.

Profesi seharusnya diisi dengan prestasi, bukan arogansi.

Picture: pinkpastels.tumblr.com

04 July 2013

Alasan Lain


Sky sudah tidak ada. Jadi kita tidak perlu bertemu lagi.
               Dengan tangan gemetar, akhirnya kutekan tombol send. Lima menit, setengah jam, bahkan sampai dua jam setelahnya, tidak ada balasan apapun. Rasa kecewa yang mendalam perlahan merayapi hatiku. Pesan yang tak kunjung mengisi inbox ponsel kumaknai sebagai persetujuan.
               Semuanya sudah jelas. Aku dan Aska telah kehilangan alasan itu. Alasan yang sampai kemarin masih melandasi hubungan entah jenis apa yang terjalin di antara kami.
Aku langsung menyadarinya begitu melihat tubuh berbulu cokelat keemasan Sky tergolek tak berdaya di tengah jalan kemarin. Aroma anyir yang menyeruak segera menghadirkan sensasi yang begitu mengerikan. Ekspresi horor tak hanya tercipta di wajahku. Bagai sedang berkaca, ekspresi yang sama juga menghiasi wajah Aska yang biasanya didominasi senyuman hangat. Oh, Sky kami yang malang!
               Aku menatap hampa taman kecil yang selalu kusinggahi setiap sore. Seharusnya sekarang aku sedang tertawa bersama Sky. Dan Aska. Seperti yang selalu terjadi setiap kali kami bertukar momen indah selama satu hingga dua jam.
               Sky bukan sekedar anjing Golden Retriever yang kutemukan dalam keadaan terluka di tempat yang sama tiga tahun yang lalu. Pertemuan dengannya juga menandai perjumpaan pertamaku dengan Aska. Tanpa sadar, kami memainkan peran sebagai orangtua Sky. Membawanya pulang bergantian. Melimpahkan kasih sayang padanya.
Aku tidak ingat kapan kali pertama kami memulai topik pembicaraan di luar hal-hal yang menyangkut Sky. Satu yang kuingat pasti, saat itu aku tidak lagi merasa kesepian.
               Tapi hari ini akhirnya datang juga. Hari di mana aku kehilangan keduanya. Yang satu karena maut, sedang yang lainnya karena diriku yang terlalu pengecut ini merasa tidak ada lagi alasan untuk tetap mempertahankan sosoknya. Bagiku, Aska hanya terjangkau di saat Sky berada di tengah kami.
               “Sky memang sudah tidak ada. Tapi aku ingin kita tetap bisa bertemu. Tidak hanya di taman ini, tapi juga di tempat lain. Tidak hanya di sore hari, tapi kapan saja kita ingin bertemu.” Untaian suara selembut angin senja menggelitik indra pendengaranku. Suara yang terlalu familiar, dan tak kusangka masih bisa kudengar. Terlebih di saat ini, di saat alasan untuk mendengarnya telah tiada.
               “Hari itu, bukan kita yang menemukan Sky. Tapi Sky-lah yang mempertemukan kita. Aku sudah kehilangan Sky, dan tidak ingin kehilangan lagi.”***


Picture : tumblr.com

17 March 2013

Don't Trust Too Much



I do believe everyone deserves a second chance, but not a third.

Saya pernah membiarkan diri saya dikecewakan oleh seseorang satu kali. Berpegang pada kepercayaan tersebut, saya dengan tulus memberinya kesempatan kedua. Saya belajar untuk bisa mempercayainya kembali dari nol. Tapi hasil akhir sepenuhnya berada di tangannya. Saat ia memutuskan untuk tidak memanfaatkan kesempatan kedua yang saya berikan, maaf, tidak akan ada kesempatan ketiga dan seterusnya.

Trust is like a mirror. Once it’s broken, you can never look at it the same again.

Jangan pernah membuat janji yang tidak bisa ditepati. Apalagi dengan gaya yang sangat meyakinkan.

Mungkin baginya janji yang ia buat dengan saya tidak begitu penting. Dengan gampangnya ia bisa membatalkan janji yang sudah kami susun dari jauh-jauh hari. Janji yang pertama dibatalkan lewat perantara ibunya, disampaikan bahkan kepada ibu saya, tidak langsung kepada saya. Sedangkan janji kedua dibatalkan hanya dengan tiga kata yang dikirim lewat layanan Blackberry Messenger ‘Paling nggak jadi’, kurang dari dua jam sebelum waktu janjian yang telah ditentukan.

Saya cuma manusia biasa yang punya batas kesabaran. Saat membalas BBM-nya dengan sebuah kalimat ‘Jangan bikin janji kalau emang lo nggak niat dan ujung-ujungnya ngebatalin beberapa jam sebelum waktu janjian’, saya tahu, kepercayaan saya padanya sudah tak lagi tersisa.

Kalau berani membuat janji dengan begitu meyakinkan di awal, kenapa lantas tidak berani membatalkannya dengan tingkat keberanian yang sama? Langsung kepada saya, tanpa perantara. Atau setidaknya memberikan alasan yang bisa diterima akal, bukannya membiarkan BBM saya berubah tanda menjadi ‘R’ tanpa dibalas.

Berdasarkan hasil uji kepribadian yang pernah saya ikuti sewaktu SMA dulu, dikatakan bahwa saya akan kecewa bila tidak dapat menepati janji atau bila suatu hal tidak sesuai dengan keinginan saya. Mungkin karena inilah, saya juga tidak suka kalau orang yang sudah membuat janji dengan saya tidak menepatinya. Sesederhana apapun jenis janji itu.

Don’t trust too much, don’t love too much. Because that too much will hurt you so much.

Sepertinya quotes tersebut perlu saya tanamkan dalam pikiran saya. Saya harus bisa mengatasi kelemahan saya. Dalam kasus ini, terlalu percaya pada orang lain (tampaknya karakter yang satu ini diwariskan dari ibu saya). Terlalu yakin bahwa orang lain akan memperlakukan saya, sama dengan bagaimana saya memperlakukan mereka.

Ungkapan “Jangan mencubit kalau tidak mau dicubit” terbukti tidak selalu berlaku. Terhadap orang-orang tertentu, meski saya berusaha untuk tidak mengecewakan mereka dengan sebisa mungkin menepati janji yang keluar dari mulut saya, nyatanya mereka tidak melakukan hal yang sama.

Picture : ennatumbul.tumblr.com

23 February 2013

Saat Bersamamu



Tangan kiriku memencet bel rumah, sementara tangan yang lain menyembunyikan rangkaian bunga matahari di belakang tubuh. Aku ingat, kamu pernah bilang bunga matahari adalah bunga kesukaanmu. Pintu terbuka. Kamu muncul dengan pakaian rumah yang jauh dari kesan modis, tapi tetap mampu membangunkan kupu-kupu yang bersarang dalam perutku. Kuucapakan untaian selamat pagi sebelum menyodorkan rangkaian bunga kuning itu ke hadapanmu. Tak perlu ucapan terima kasih. Sebuah kecupan singkat di bibirku sudah mewakili segalanya.

Tangan kita tidak sengaja beradu beberapa kali selama berjalan di taman kota yang sepi pengunjung. Kunyalakan iPod, lantas menyelipkan earphone. Satu di telinga kiriku, sisanya di telinga kananmu. Lavender yang dibawakan oleh group band Marillion serasa diciptakan untuk menemani kita menikmati sore ini. Tangan kiriku berhasil menemukan tangan kananmu. Seolah keduanya diciptakan untuk saling tertaut.

Aku bisa membayangkan bibirmu yang maju beberapa senti ketika membaca pesan singkatku di layar ponsel. Kamu pasti membatin sedih, menerka-nerka apakah kadar pentingya eksistensimu sudah dikalahkan dengan segudang aktivitasku. Dengan seringai penuh kemenangan, kukirimkan pesan kedua. ‘Coba lihat ke belakang’. Mulutmu terbuka dan menutup bergantian, kehilangan kata-kata. Atau mungkin sedang berusaha meyakinkan diri, bahwa sosokku yang sedang memegang baki berisi dua cangkir capuccino bukan hanya bayang semu.

Suara Ingrid Michaelson menyanyikan ulang Can’t Help Falling in Love memenuhi seisi ruangan. Kamu langsung memekik kegirangan. “Oh, ini lagu kesukaanku!”Entah murni di luar kendali, atau mengandung makna tersirat di baliknya. Tanpa banyak berpikir, kuraih tangan kananmu. Sebelum sepatah kata meluncur dari bibirmu, kutarik tubuhmu merapat di kehangatan tubuhku. Menenggelamkan kepalamu di dadaku, menikmati harum vanila yang menguar dari rambut ikalmu. “Jangan bicara. Nikmati saja momen ini. Nikmati setiap detiknya.”

* * *

Kutatap seikat bunga matahari yang tergeletak di jok kiri mobil. Kemudian beralih pada rangkaian lain yang ada dalam dekapanmu. Dan kamu yang ada dalam dekapannya.

Kurasakan tangan kiriku mendingin di dalam saku celana. Mendamba kehangatan tangan kananmu yang berada dalam genggamannya. Kuresapi lirik Lavender milik Marillion. Kata demi kata, bait demi bait. Menebak-nebak apakah lagu yang terdengar lewat earphone di telinga kananmu juga memainkan lagu yang sama.

Kuperhatikan wajahmu yang mendadak mendung dari kejauhan. Menggambarkan kesedihan karena lagi-lagi dinomorduakan. Tak sampai semenit kemudian, bibir cemberut itu berganti posisi melengkung ke bawah, melihatnya membawa baki berisi dua cangkir capuccino. Sama dengan dua cangkir yang hanya teronggok di mejaku tanpa tersentuh sama sekali.

Kuhabiskan cairan putih di gelasku dalam sekali teguk. Rasa pahit yang mengaliri tenggorokanku bahkan berhasil membuat lagu semanis Can’t Help Falling in Love ikut terdengar pahit. Lagu kesukaanmu, aku masih ingat. Tapi maaf, tidak akan jadi lagu kesukaanku. Selamat menikmati momen ini... bersamanya...

Maafkan aku yang hanya mampu berangan-angan. Maafkan aku yang dikuasai kebodohan, diperdaya ketidakpekaan, diperbudak ego.

*) Terinspirasi dari lirik lagu When I Was Your Man oleh Bruno Mars

Picture : no-raj.tumblr.com

02 February 2013

To Make Her Proud



Pernah bertemu dengan ibu-ibu yang heboh (cenderung show off) membanggakan prestasi anak-anaknya? “Anak saya pulang sekolah sore terus karena sibuk ikut science club. Dia memang pintar, sih. Nilai mata pelajaran IPA-nya tidak pernah di bawah angka 90. Dia juga selalu masuk lima besar ranking pararel satu angkatan. Padahal belajarnya tidak terlalu lama. Mungkin karena otaknya sudah encer dari sananya, ya. Blablabla.”

Saya sering bertemu dengan ibu-ibu tipe seperti itu, dan terkadang dibuat tidak nyaman karenanya. Mungkin karena ibu saya sendiri tidak pernah melakukan hal itu.

Ibu saya tidak pernah membanggakan saya di depan orang lain, baik itu prestasi akademis maupun non-akademis. Saya juga tidak bermasalah dengan hal itu. Karena bagi saya, cukup ibu saya saja yang mengetahui prestasi saya. Meski tidak pernah membaginya dengan orang lain, bukan berarti beliau tidak menyadari usaha yang saya lakukan selama ini. Beliau adalah tipe orangtua yang memuji putrinya dalam batasan tidak berlebihan.

Selagi kecil terkadang mungkin saya sering menginginkan pujian lebih. Tapi seiring bertambahnya usia dan semakin banyak hal yang dimengerti, saya ikut menyadari, bahwa pujian yang berlebihan malah akan melemahkan mental.

Orangtua yang memuji anaknya ketika berhasil meraih sesuatu memang terbukti bisa meningkatkan kepercayaan diri anak tersebut. Tapi segala sesuatu yang baik jika dilakukan secara berlebihan hasilnya malah tidak baik lagi, terbukti adanya. Memuji anak (baik hanya di depan anak tersebut atau di depan orang lain) secara berlebihan malah bisa membuat si anak akhirnya menjadi besar kepala, dan tidak lagi termotivasi untuk meraih sesuatu yang lebih. Atau justru membuat si anak haus akan pujian, sehingga tidak menutup kemungkinan berusaha untuk memperolehnya dengan cara apapun (sehat maupun tidak).

Tidak ada orangtua yang tidak bangga jika anaknya mampu melakukan hal baik. Tapi rasa bangga mereka itu tidak lantas perlu ditunjukkan secara gamblang. Dengan memberi perhatian pada apa yang dikerjakan oleh anak, sudah cukup menjadi penanda bahwa mereka tahu dan bangga.

Dan saya tahu, ibu saya selalu memberi perhatian pada hal-hal positif yang saya lakukan selama ini. Dengan atau tanpa menunjukkannya secara terang-terangan. Saya tidak mengharapkan pujian dari khalayak ramai. Cukup rasa bangga dari ibu saya, bahwa beliau bahagia memiliki putri seperti saya. Hal itulah yang sampai saat ini selalu dan akan tetap saya perjuangkan.

Picture : lovetexts.tumblr.com