28 October 2011

Bangga Menjadi Pemuda Indonesia


Delapan puluh tiga tahun yang lalu, pemuda Indonesia melakukan sebuah pergerakan yang menjadi bukti nyata kecintaan mereka terhadap Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Namun lihat apa yang terjadi pada pemuda Indonesia di masa sekarang ini. Bahkan rasa nasionalis sudah luntur dari jiwa kita sebagai pemuda.

Jangan mengaku sebagai pemuda Indonesia yang nasionalis, kalau kerjaan kita hanya mencela negeri sendiri. Kalau mau disebut nasionalis, buktikan rasa cinta kita terhadap Tanah Air dengan bukti nyata. Tidak perlu sampai mengikuti demo. Dari hal-hal sederhana saja, kita sudah bisa ikut serta dalam membangun negeri ke arah yang lebih baik, contohnya seperti ini: 


1. Bangga menggunakan batik dan kebaya (saat hangout atau special ocassion)
Batik dan kebaya tidak lagi identik dengan pakaian nenek-nenek. Kalau tahu cara mix n' match dengan benar... voila! Kita bisa terlihat stylish sekaligus nasionalis di saat yang bersamaan. Pilih kebaya encim yang tidak terlalu mencolok, kemudian padukan dengan celan atau rok jins. Dengan begitu, maka tidak akan menimbulkan kesan too much


2. Menonton saluran TV lokal
Tentunya dengan catatan hanya menonton acara-acara yang memberikan dampak positif (seperti acara kuliner, traveling, budaya, dll). Kompas TV dan Metro TV menjadi channel favorit saya, karena menyajikan berbagai acara edukatif yang membuat kita semakin jatuh cinta dengan Indonesia.


3. Merawat diri dengan cara tradisional
Bangsa ndonesia sudah sejak dulu terkenal dengan kepiawaiannya meracik berbagai bahan tradisional sebagai alat mempercantik diri. No wonder kalau Mustika Ratu menjadi perusahaan make-up kebanggaan Indonesia yang tidak perlu diragukan eksistensinya di kancah internasional. So, enggak butuh kosmetik dengan harga selangit, karena bahan-bahan yang biasa tersedia di dapur pun bisa dimanfaatkan! 


4. Bersikap tertib saat mengikuti Upacara Bendera
Enggak perlu sampai ikut paskibra. Cukup dengan mengikuti upacara dari awal sampai akhir dengan khidmat dan tertib, kita sudah bisa membuktikan rasa cinta kita kepada Tanah Air. Berdiri tegap dan memberi hormat saat pengibaran Bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya selama beberapa menit tidak akan membuat tangan kita patah, kok. 


5. Mendengarkan cerita dari kakek atau nenek tetang sejarah Indonesia
Kakek dan nenek kita yang sudah lahir dan bahkan menjadi bagian dari sejarah Indonesia tentunya dapat menceritakan semuanya itu dalam versi yang lebih seru. Sayangnya saya sudah tidak bisa mendengarkan itu semua, karena Kakek saya yang dulu suka bercerita telah tiada. Jadi, beruntunglah kalian yang masih memiliki kakek atau nenek yang dapat berbagi cerita. Membaca buku atau browsingsitus sejarah Indonesia juga bisa jadi alternatif pilihan. 


6. Traveling ke negara sendiri dulu, baru ke negara lain
Kalau wisatawan asing saja hobi banget traveling ke negara kita ini, masa kita yang tinggal di Indonesia kalah? Indonesia memiliki banyak sekali tempat-tempat wisata yang sangat indah dan harus menjadi tujuan utama destinasi liburan kita. Belum lagi pantai-pantainya yang super fabulous


7. Mengikuti kursus atau ekstrakurikuler tari daerah
Tarian tradisional yang dimiliki negara kita enggak kalah cool jika dibandingkan dengan tarian dari negara-negara lain. Malahan, tarian tradisional jauh lebih susah dibanding tarian luar. Jadi, kalau kita bisa menguasai tarian tradisional, tentunya kita bisa sedikit pamer sama teman-teman kita yang ada di luar negeri. 


8. Mencoba berbagai kuliner asli Indonesia
Indonesia terkenal dengan makanan tradisionalnya yang super yummy! Kalau mau dibikin list-nya, bisa sampai berlembar-lembar. Jadi, ayo ajak teman-teman kita untuk mencoba makanan tradisional Indonesia (lebih seru lagi kalau di warung pinggir jalan, karena rasanya yang masih original)!

Intinya, jalani semuanya dari hati, karena cuma hati kita yang bisa dengan jujur merefleksikan seberapa besar rasa cinta kita kepada tanah tempat kita berpijak saat ini.

Selamat Hari Sumpah Pemuda!

Pictures : private collection | gettyimages.com | wikipedia.com | lemper-abon.tumblr.com

26 October 2011

Hanya Punya Satu Nyawa



Lahir dan tinggal di Indonesia selama delapan belas tahun, membuat saya menyadari sebuah realita yang cukup memprihatinkan di negara ini. Lupakan mengenai masalah ekonomi, karena saya tidak akan membahasnya kali ini.
Realita yang saya temukan adalah: Rendahnya apreasiasi bangsa ini terhadap nyawa manusia.
Selesai UTS (Ujian Tengah Semester), teman-teman sekelas mengajak untuk merayakan kebebasan dengan bermain ke salah satu amusement park (AP) yang ada di Jakarta. Awalnya saya sangat  excited dengan rencana ini. Tapi kemudian kedua orangtua saya menasihati supaya tidak ikut pergi, mengingat keamanan berbagai wahananya yang semakin lama semakin bobrok saja.
Setelah berpikir lebih mendalam mengenai nasihat tersebut, saya langsung berubah pikiran. Menyatakan bahwa saya tidak akan pergi AP tersebut sampai keamanannya benar-benar bisa disetarakan dengan AP di negara lain.
Bukannya saya tidak menghargai dan tidak bangga akan kemajuan negara ini. Saya sudah puluhan kali bermain ke AP tersebut. Semua wahana yang ada di sana sudah pernah saya coba. Dari wahana khusus anak-anak (tentunya ketika saya masih kecil), sampai yang paling menguji adrenalin. Simply because i do love adrenaline rush thingy.
Kalau dulu, pikiran saya masih dangkal, khas anak-anak. Yang saya tahu hanyalah bermain ke sana kemari sesukanya tanpa beban. Sama sekali tidak ada ketakutan bahwa ada kemungkinan nyawa saya yang menjadi taruhan.
Tapi sekarang, mendengar berbagai berita yang entah benar atau tidak mengenai korban jiwa yang disebabkan oleh kerusakan dan masalah teknis wahana, saya jadi was-was. Memang berita itu tidak bisa dipastikan kebenarannya. Tapi melihat bukti nyata berbagai permainan lain yang ada di Indonesia, mulai dari flying fox, dan yang baru-baru ini terjadi di sebuah taman bermain air, saya jadi semakin tidak berhasrat untuk mencoba hal-hal berbau ekstrim yang tersedia di negara ini.
Tidak hanya dalam hal permainan ekstrim. Dalam transportasi pun begitu. Sudah bosan rasanya menyaksikan pemberitaan mengenai kecelakaan transportasi, mulai dari kendaraan roda dua, empat, kereta api, kapal laut, sampai pesawat. Kenapa, sih, malas sekali melakukan perawatan? Nyawa ratusan manusia bergantung penuh pada keamanan mesin dan hal teknis lainnya. Apakah sebanding, rasa malas tersebut dengan hilangnya nyawa-nyawa orang tidak berdosa?
Nyawa manusia dihargai dengan begitu rendahnya. Peralatan dan mesin yang digunakan tidak diperiksa serta dirawat dengan serius. Padahal, seiring berjalannya waktu, nilai guna peralatan dan mesin tersebut akan semakin berkurang. Yang berarti, keamanannya juga semakin jauh dari standar.
Saya tahu, nyawa manusia memang sepenuhnya milik Yang Maha Kuasa. Kapan dan dengan cara apa kita akan meninggal, hanya Tuhan lah yang tahu. Tapi sebagai manusia, kita harus menjaga nyawa kita dengan baik, bukan? Hidup cuma satu kali. Masa mau dikorbankan begitu saja dengan cara mati konyol?
Sebenarnya sudah sejak lama saya sangat tertantang untuk mencoba paralayang. Tidak perlu jauh-jauh dari Jakarta, karena di Puncak juga ada. Semoga saja niatan saya itu bisa segera terwujud, tentunya disertai dengan perbaikan keamanan dan kenyamanan yang digunakan, sehingga sesuai bahkan melebihi standar yang ada.
Semoga ke depannya, nyawa manusia bisa menjadi prioritas utama dan mendapat penghargaan tinggi dibandingkan dengan usaha mencari keuntungan semata. Uang bisa dicari, tapi nyawa manusia hanya satu. Tidak bisa dibeli dengan berapa banyak pun uang yang dimiliki.
Picture : moanalittlelouder.tumblr.com

20 October 2011

Sekolah Berjalan



Bus TransJakarta (atau yang sering salah dipersepsikan oleh sebagian besar warga Jakarta sebagai busway) bagi saya merupakan tempat pembelajaran yang sangat riil tentang kehidupan. Kendaraan umum ini seolah menjadi kaca display yang menampilkan berbagai jenis individu dengan keunikannya masing-masing. Singkatnya, segala macam sifat manusia bisa kita temukan selama menggunakan jasa transportasi satu ini.
Mulai dari ramainya gerombolan anak remaja dengan berbagai keceriaannya (jadi ingat dulu saya dan teman-teman saya pernah ditegur oleh penumpang lain dan supir bus saking berisiknya).
Egoisnya anak muda atau pria yang menikmati kenyamanan memperoleh tempat duduk dan tidak mau memberikan tempatnya bagi wanita, ibu hamil, atau manula.
Kemesraan pasangan sejoli di mana tangan sang pria tidak pernah lepas dari pasangannya untuk menjaga agar jangan sampai terpisah atau terjatuh.
Sampai dengan hal menggelikan yang mungkin tidak sengaja kita curi dengar dari obrolan orang lain.
Selain itu, saya juga bisa menikmati aktivitas yang dikerjakan penumpang lain. Mungkin aneh jika disebut menikmati. Tapi memang itulah yang biasanya saya lakukan. Mencermati, mengamati, menikmati.
Mulai dari remaja yang sibuk SMS-an, BBM-an, menulis status, atau mendengarkan lagu lewat earphone.
Orang yang larut dalam buku yang sedang dibacanya.
Pekerja yang berpakaian rapi dan sibuk dengan smartphone-nya.
Orang-orang yang saling berbincang, tertidur, mengamati jalan, or simply just do nothing.
That’s why bus TransJakarta (atau mungkin kendaraan umum lain) menjadi tempat yang tepat untuk mengamati karakter orang lain, menemukan sesuatu yang baru, atau bahkan untuk belajar tentang kehidupan.

Belajar? How can?
Dengan menggunakan transportasi umum, kita belajar untuk mengantri, menunggu giliran dengan tertib, menghargai orang lain, toleransi, simpati, dan banyak aspek penting dalam kehidupan lainnya.
Sekaligus membuat kita sadar kalau kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Ada banyak orang dengan berbagai kepribadian dan sifat berbeda. Itulah sebabnya dibutuhkan rasa pengertian dan toleransi.
Karena kalau kita tidak memiliki hal tersebut, maka saat kaki kita tidak sengaja terinjak oleh orang lain, maka bisa berakhir di kantor polisi dan berbuntut panjang. Tidak sengaja tersenggol, terinjak, terdorong, dan lain sebagainya itu hal yang wajar. Prinsip saya, kalau tidak mau tersenggol, ya, jangan naik kendaraan umum. Naik kendaraan pribadi saja. Atau yang lebih ekstrim lagi, pakai baju berduri. Dijamin, tidak akan ada yang menyenggol karena sudah keburu luka-luka duluan.
Begitu pula dengan masalah memberikan bangku yang kita duduki kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Wanita yang lebih tua, ibu dengan anak kecil apalagi yang sedang mengandung, manula, adalah pihak-pihak yang WAJIB kita berikan tempat duduk. Di luar itu, kalau jarak tempuh kita tidak terlalu jauh atau kita tidak sedang kelelahan, apa salahnya memberikan tempat duduk untuk orang lain, tanpa memikirkan untung-ruginya. Berdiri selama beberapa saat tidak akan membuat kaki kita patah, atau tulang kita remuk. Selagi masih diberi kesempatan untuk bisa berdiri, dengan tubuh yang sehat dan anggota badan yang lengkap, kenapa tidak kita coba syukuri?
Saat kebetulan naik bus TransJakarta, cobalah amati sekeliling kita. Pasti akan ada saja hal yang membuat sebal, membuat kita tertawa terbahak-bahak, bahkan mungkin menjadi sarana untuk instrospeksi diri.
Karena belajar tidak hanya bisa dilakukan di kelas. Setuju? Kita bisa belajar di mana saja, melalui setiap hal yang terjadi dalam hidup kita, mulai dari yang sederhana sampai yang paling kompleks sekalipun. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk belajar.
Picture : yustisi.com

18 October 2011

Go Slowly and See a Lot



“Your drama has a long way to go before it’s over. So don’t force yourself to go quickly. If you go slowly, you can see a lot more, in more detail, than the people who go quickly. If you ask me who would grow more between those two, I’d say it’s the one who goes slowly and sees a lot.” -Kang Oh Hyuk
Penggalan kalimat yang saya dapatkan ketika menonton serial Korea 'Dream High' ini melahirkan sebuah perenungan baru bagi saya. Pemikiran yang sangat unik. Kembali mengingatkan saya bahwa untuk meraih mimpi, kita tidak bisa memaksa diri untuk berlari tergesa-gesa. Banyak hal yang bisa didapatkan selama perjalanan mencapai mimpi. Hal berharga yang dapat dijadikan pelajaran. Proses yang menempa kita untuk kelak menghargai apa yang berhasil kita raih.
Picture : littlemissinvisible.tumblr.com

17 October 2011

SKS [Sistem Kebut SeJAM]



Kalau SKS yang satunya adalah Sistem Kebut Semalam, coba bayangkan kalau malam itu berubah menjadi jam. Itulah yang saya jalani selama masa SMA dan bahkan terbawa sampai kuliah. Saya tidak tahu apa ada orang lain yang mengalami hal serupa dengan saya, karena saya memang baru akan optimal belajar ketika berada dalam keadaan terdesak.
Biasanya saya akan datang lebih pagi ke sekolah saat ujian berlangsung, kemudian belajar dengan mendengarkan teman-teman saya yang lain belajar. Saya adalah tipe orang yang lebih bisa belajar dengan cara seperti itu ketimbang harus membaca kumpulan soal atau materi.
SKS (baik Semalam / Sejam) tentu saja lebih banyak berakhir dengan kekecewaan. Terkadang, selesai mengerjakan soal ujian, saya akan keluar ruangan dengan raut wajah bahagia karena otak saya masih fresh dalam menyimpan memori pelajaran, sehingga dapat menjawab soal-soal dengan baik. Tapi tentu saja hal tersebut terjadi ketika Dewi Fortuna sedang berpihak kepada saya. Jika sedang kurang beruntung, saya akan keluar dengan lemas dan kata-kata seperti ini yang biasanya terucap "Ah, coba gue belajar lebih lama!" maupun kata-kata lain yang intinya sama, penyesalan.

The conclusion is : SKS is NOT effective! Don't try this at home.
Lantas, kalau SKS tidak disarankan untuk dilakukan, apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi ujian?
1. Buat jadwal belajar sesuai dengan kemampuan kita. Maksudnya, kalau sudah berani membuat jadwal belajar selama dua jam, maka kita harus belajar selama dua jam, tanpa mendiskonnya menjadi satu jam. Discipline is the key to success!

2. Ciptakan suasana belajar yang kondusif. Untuk sementara, selama belajar, jauhkan diri kita dari handphone, internet, atau apapun yang bisa membuat pikiran kita bercabang.

3. Menyicil dari jauh-jauh hari. Dont be such a procrastinator! Dengan menunda-nunda waktu belajar, maka pada akhirnya bahan yang harus dipelajari menjadi menumpuk dan kita sudah terlanjur malas belajar.

4. Belajar bersama teman. Segala sesuatu yang dilakukan bersama teman pasti akan terasa lebih menyenangkan, termasuk belajar. Siapa tahu kita akan lebih memahami materi pelajaran kalau diajari oleh teman, karena menggunakan bahasa yang lebih simpledan akrab di telinga.
5. Buat target nilai. Dengan membuat target nilai, maka kita akan terpacu untuk mencapai nilai tersebut. Kalau perlu tuliskan nama saingan utama kita di kelas dalam hal pelajaran. Bukan berarti kita memusuhi mereka karena merasa tersaingi. Sebaliknya, justru kita bisa belajar dengan teman kita tersebut. Manfaatnya bukan hanya kita menjadi lebih pintar, tapi juga membuat teman kita lebih pintar, karena dengan mengajarkan kita, maka dia akan menjadi lebih mahir dalam materi tersebut.
6. Rileks dan teliti. Belajar sudah, berarti tinggal menunggu waktu mengerjakan ujian. Ingat, segala sesuatu yang dikerjakan dengan diliputi kepanikan pasti akan berakhir kacau. Jadi, rilekskan tubuh dan pikiran kita. Kalau cara belajar kita memang sudah benar, tidak ada alasan untuk takut dan panik lagi. Jangan lupa cek kembali pekerjaan kita, mulai dari hitung-hitungan (mafia + ekonomi), ataupun jawaban yang sudah kita tulis di lembar jawab.
#notetomyself Tidak hanya berbagi tips belajar yang benar. Mulai sekarang, saya harus mempraktekkan cara tersebut. Sudah cukup pengalaman UTS pertama saya di bangku kuliah yang tidak berakhir maksimal.
Picture : facebook.com

15 October 2011

Dunia yang Tak Lagi Polos



Kata orang, dunia anak-anak itu begitu polos. Tidak ada drama, tidak ada masalah. Tapi lihatlah apa yang terjadi dengan anak-anak di masa kini.
Jujur saja, saya kaget begitu mendengar cerita salah seorang teman tentang keponakannya yang masih balita. Singkatnya, teman saya itu tinggal bersama dengan kakaknya yang sudah berkeluarga. Kakaknya ini memiliki seorang anak perempuan, yang memang terkenal paling nakal di keluarganya. Setiap kali teman saya itu tidak mengikuti keinginannya, maka anak itu akan langsung berkata, “Kalau enggak mau, enggak usah tinggal di sini lagi.” Tidak hanya itu saja, dia bahkan berani memanggil teman saya dengan sebutan pembantu. Sungguh, kenyataan ini membuat saya tidak habis pikir sekaligus prihatin.
Kalau mau diceritakan, ada banyak tingkah anak kecil yang membuat saya meragukan pendapat yang tertulis di awal posting ini. Saya maklum kalau memang ada anak yang nakal. Tapi apakah perilaku tersebut masih masuk dalam kenakalan anak-anak pada umumnya?
Ke mana semua kepolosan mereka? Kalau sejak kecil saja watak dan cara berpikir seorang anak sudah sebegitu mengerikannya, mau jadi apa mereka kelak?
Apa yang menyebabkan mereka bisa bertingkah seperti itu?
Anak kecil pada umumnya meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari berbagai sumber dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, dapat disimpulkan entah mereka meniru dari orangtua dan orang-orang di sekeliling mereka, atau melalui media.
Itulah mengapa saya setuju dengan opini masyarakat bahwa media adalah sarana yang paling mempengaruhi tingkah laku seseorang. Seperti dua sisi mata uang, di satu sisi media memberikan dampak positif sebagai penyaluran informasi. Tapi di sisi lain, jika digunakan tidak pada kaedah sebenarnya, media dapat menjadi sesuatu yang sangat merugikan, bahkan merusak moral suatu bangsa.
Sayangnya, hal itulah yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Coba saja jelajahi stasiun televisi di Indonesia. Kita bisa menemukan berbagai format dan model acara, mulai dari sinetron asli Indonesia, serial Asia (Korea dan Taiwan), film-film Hollywood, reality show, variety show, infotaiment, game show, dan masih banyak lagi. Tapi seiring berjalannya waktu, acara yang ditawarkan bisa dikatakan semakin tidak bermutu dan berkualitas.

Saya ingat, kalau dulu sewaktu masih kecil, saya bisa dengan mudah menemukan serial kartun di berbagai channel. Sekarang, hanya ada beberapa channel yang masih menayangkannya. Apakah anak kecil di Indonesia harus mengkonsumsi sinetron, reality show, maupun infotaiment yang jelas-jelas tidak mendukung perkembangan mental mereka?
Dari kecil sampai SD, saya bisa berada di depan televisi dari bangun tidur sampai tidur lagi. Semua acara televisi pernah saya tonton. Sekarang, melihat acara yang ada saja sudah membuat saya ingin cepat-cepat mematikan televisi.
Kalau dulu, sinetron ditayangkan seminggu sekali, dengan alur dan setting yang masih bisa diterima akal sehat. Lihat saja apa yang terjadi sekarang ini. Sinetron ditayangkan setiap hari, sehingga tidak ada lagi rasa penasaran menanti episode selanjutnya, yang ada malah menciptakan rasa bosan. Belum lagi alur dan setting yang tidak bisa diterima nalar. Kalau sedang musim pemeran utama mengalami amnesia, maka beberapa sinetron akan menampilkan scene serupa. Bahkan karakter antagonis dibuat tak ubahnya seperti titisan iblis saking kejamnya. Saya rasa, di kehidupan asli saja mungkin tidak ada yang separah dengan yang digambarkan di dalam sinetron. Apakah masuk akal, orang baru bangun tidur sudah memakai make up tebal? Setting yang digunakan kebanyakan rumah-rumah mewah, atau ada juga yang menggunakan efek elang terbang, siluman berbagai wujud, dan lain sebagainya. Karakter yang diceritakan miskin dalam sebuah cerita saja bisa memakai tas bermerk. Seperti hanya menjual mimpi dan bualan belaka.

Cukup tentang sinetron, sekarang coba kita lihat reality show yang ada. Bahkan dalam acara kompetisi memasak saja, terdapat drama yang jelas terlihat terlalu mengada-ada. Sekalian saja diganti formatnya menjadi sinetron, jangan lagi kompetisi memasak.
Acara menghipnotis orang, di mana pasangan saling membuka aib masing-masing, yang kemudian dijadikan bahan tertawaan. Apa itu pantas?
Infotaiment yang hadir bahkan menandingi acara berita, dengan pemberitaan yang dalam satu hari bisa saja sama semua.

Acara-acara di mana host-nya akan mengunjungi tempat-tempat yang terkenal angker, kemudian tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang karena kesurupan.
Sungguh menyedihkan.
Tidak heran kalau anak kecil sekarang sudah bisa bertengkar karena memperebutkan cewek atau cowok. Tidak heran kalau anak kecil sekarang bisa mengikuti gaya bicara hostacara gosip dengan mata melotot dan suara yang sengaja diseram-seramkan. Tidak heran kalau anak sekarang bisa menjadi semengerikan tokoh antagonis dalam sinetron, lengkap dengan kalimat-kalimat yang tidak selayaknya diucapkan oleh mereka.
Kalau dunia pertelevisian di Indonesia tidak kunjung diperbaiki ke arah yang lebih baik, saya sudah tidak tahu lagi akan jadi seperti apa generasi muda bangsa ini. Bagaimana mereka bisa maju, kalau apa yang mereka konsumsi sehari-hari adalah tayangan tidak mendidik seperti yang sudah disebutkan sebelumnya?
Picture : simply-fap.tumblr.com

02 October 2011

Local Tradition, National Pride



Hari ini adalah Hari Batik Nasional. Saatnya kita sebagai bangsa Indonesia, untuk semakin bangga terhadap batik. Enggak perlu berlebihan sampai belajar membatik segala. Dengan memakai batik, baik sebagai outfit sehari-hari, atau ke event-event khusus saja, sudah berarti kita bangga dan berkontribusi dalam melestarikan batik.

Almamater SMA saya mewajibkan para siswanya mengenakan batik (motif dan model terserah) setiap hari Jumat. Saya sangat senang dengan ketentuan yang baru berjalan sejak kurang-lebih dua tahun tersebut. Tapi saya ingat betul, ada salah seorang kakak kelas yang begitu mendengar peraturan baru ini dari kepala sekolah, langsung memposting kalimat kurang-lebih seperti ini dalam akun twitter-nya: Males banget sih, harus pakai batik segala. Kampungan!

Bayangkan, kata-kata seperti itu ditulis oleh seorang warga negara Indonesia, yang bahkan masih tinggal dan hidup di Indonesia! Di saat orang-orang dari berbagai negara mengagumi batik, manusia yang berasal dari tempat asal batik malah menyebutkan bahwa memakai batik itu kampungan. Sungguh keterlaluan.


Supaya tidak ada lagi orang-orang seperti itu di Indonesia, tugas kitalah untuk menjadi 'duta' bagi batik. Batik adalah warisan budaya yang sangat membanggakan. Dengan proses pengerjaannya yang rumit dan membutuhkan nilai seni yang tinggi, sayang sekali kalau sampai tidak dilestarikan.



Pictures : google | private collection

Video courtesy of Youtube