Kebanyakan manusia memilih untuk stay dalam comfort zone mereka masing-masing. Untuk apa keluar dari zona aman,
hanya untuk pindah ke zona lain yang belum teruji apakah aman atau tidak. Untuk
apa mengorbankan kebiasaan lama yang sudah menjadi bagian kehidupan kita, hanya
untuk menjalani aktivitas lain yang belum tentu membawa perbaikan, atau malah
mendatangkan masalah?
Pemikiran semacam itu sangat wajar timbul setiap kali
kita hendak move on dari comfort zone.
Masing-masing manusia punya definisi berbeda mengenai comfort zone.
Sama seperti selera dan opini. Bentuk comfort zone pun
bervariasi, mulai dari yang paling sederhana seperti sarapan dengan roti,
sampai pada hal yang sangat krusial seperti memutuskan untuk berhenti kerja
kantoran demi memulai usaha sendiri.
Saya senang melihat segala sesuatu dari sisi yang
paling sederhana. Termasuk soalcomfort zone.
Yang termasuk comfort zone saya
adalah berambut panjang. Setelah melewati masa balita, saya selalu bertahan
dengan rambut lurus-hitam-panjang (sepunggung). Tidak seperti teman-teman cewek
saya yang suka ke salon entah itu untuk potong rambut atau melakukan berbagai treatment lain,
saya baru akan pergi ke salon di saat benar-benar ingin menggunting rambut.
Sampai
akhirnya suatu hari, tepatnya sehari setelah ulang tahun saya yang ke-19, saya
memutuskan untuk memotong rambut yang saat itu bisa dikatakan rambut terpanjang
saya selama ini.
Sama seperti biasanya, saya hanya akan menggunting
rambut saya tidak lebih dari lima senti, sampai-sampai lebih sering terlihat
tidak ada bedanya antara sebelum dan sesudah gunting rambut. Saat itu pun saya
mengatakan kepada kapster bahwa saya ingin memotong rambut
saya sekitar satu jengkal.
Yang
terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan saya. Saya terlambat menyadari
bahwa rambut saya sudah digunting hampir separuhnya. Sempat syok, tapi akhirnya
saya menguatkan hati dan terus mengatakan ‘tidak apa-apa’ kepada diri saya
sendiri.
Hari-hari awal, saya sempat merasa aneh dan tidak pede
dengan rambut sebahu saya. Terakhir kali rambut saya sependek ini saat berusia
tiga sampai empat tahun, dan itu berarti sudah hampir lima belas tahun yang
lalu. Tapi mau diapakan lagi, rambut saya sudah terlanjur digunting. Saya bisa
saja melakukan hair extension. Tapi rambut saya yang pertamanya
terlihat aneh karena istilahnya masih ‘belum nurut’, perlahan tidak lagi
terlihat aneh. Beberapa orang sempat kaget melihat rambut pendek saya, tapi
tidak ada yang mengatakan jelek. Hanya belum terbiasa, begitu kata mereka.
Walaupun bisa dikatakan sebagai ‘kecelakaan’, saya
tidak menyesal sama sekali. Kalaukapster itu tidak terlalu
‘bernafsu’ menggunting rambut saya, mungkin sampai bertahun-tahun ke depan saya
akan tetap bertahan dengan rambut panjang. Padahal surprisingly, short
hair is not that bad.
Hal
sesederhana ini juga bisa diaplikasikan pada hal yang lebih krusial.
Karena kita sudah terlalu nyaman dan
aman dalam comfort zone kita, kita jadi terlalu ‘betah’ dan
tidak ingin beranjak. Padahal keluar dari comfort zone sekali-sekali
dapat memberikan perubahan. Maybe the life changing one.
Tempat di luar comfort zone yang
dalam bayangan kita akan menjadi tempat yang menyeramkan, bisa jadi memberikan
banyak pengalaman berharga yang tidak akan kita dapatkan kalau
terus-terusan stay dalam comfort zone.
Kalaupun
ternyata kita ‘celaka’ di luar sana, setidaknya kita mendapat kesempatan untuk
belajar dari ‘kecelakaan’ tersebut.
"Sometimes, being out of your
comfort zone is a good thing." - Frost Nixon (2008)
Picture: piccsy.com