Baru-baru ini peneliti menemukan bahwa ketika seseorang jatuh
cinta, aktivitas otak di bagian frontal
cortex yang berfungsi
saat melakukan penilaian, tidak berfungsi. Yang artinya, kita susah melihat
sisi buruk dari orang yang sedang kita cintai. Semua tindakannya terasa
baik-baik saja. Gara-gara frontal
cortex yang lagi
mogok kerja inilah, yang menyebabkan kita bersedia melakukan sesuatu (bahkan
apa pun) atas nama cinta.
Sumber: Rubrik Hi Girls majalah kaWanku #140 oleh Trinzi
Mulamawitri
Sahabat saya termasuk salah satu contoh konkritnya. (Luckily) dia
akhirnya sadar dan sekarang sudah putus dari cowoknya yang kurang ajarnya
ampun-ampunan itu. Selama pacaran, dia sering dikatai bego, idiot, didorong
sampai jatuh, ditinggal pulang saat cowok itu sedang ngambek, bahkan sampai
mengatai agama sahabat saya.
Sejak pertama kali sahabat saya curhat mengenai perlakukan
mantannya itu, saya selalu menyuruhnya berpikir baik-baik, apakah cowok seperti
itu pantas dan layak dipertahankan. Berkali-kali pengin menyuruh dia untuk
putus (termasuk geregetan mau memberi ‘pelajaran’ buat si cowok yang satu
kampus dengan saya), tapi saya bukan orangtuanya. Saya masih sadar kapasitas
saya sebagai sahabat hanya sebatas menasihati dan 'menyadarkannya'.
Sampai akhirnya hampir setahun kemudian, (thank
God)
dia bisa berpikir jernih dan membuat keputusan untuk berpisah.
Jatuh cinta itu sama sekali bukan kesalahan. Semua manusia di
dunia ini berhak mencintai dan dicintai. Cinta adalah salah satu anugerah
terindah dari milyaran kebaikan Tuhan di dunia. Tapi bukan berarti kita
diperbudak oleh cinta.
Setiap orang punya caranya
masing-masing ketika sudah berhadapan dengan cinta. Ada yang memilih memberikan
cintanya 100 persen. Namun ada pula yang memberikan hanya 80 persen, dan
sisanya berada dalam zona netral, di mana rasio tetap dipertahankan.
Ada yang rela-rela saja melakukan
apa pun‒bahkan saat apa pun itu termasuk mengorbankan diri mereka sendiri‒demi
orang yang dicintainya. Rasanya kok rasa cinta saya terhadap diri sendiri masih
cukup besar sampai tidak ingin menyakiti atau mengorbankan diri demi seorang
cewek. Mungkin terdengar egois, tapi kalau bukan kita yang menjaga diri kita
sendiri, lantas siapa? Orangtua, kakak/adik, teman, dan manusia lainnya kan
tidak mungkin menjaga kita 24/7.
Percayalah, di saat seorang cowok
mengatakan, “Katanya kamu sayang sama aku. Kalau gitu, berarti kamu pasti
mau...” (isilah titik-titik tersebut dengan berbagai jenis permintaan), itu
adalah ciri-ciri cowok itu tidak layak untuk dipertahankan, apalagi diperjuangkan.
Cowok yang baik, di saat mereka tahu kalau kita mencintainya, mereka tidak akan
menyuruh kita melakukan apa pun demi cinta kita padanya. Mereka justru akan
menjaga bagaimana supaya rasa cinta kita tetap bertahan bahkan semakin besar
padanya, dengan cara-cara yang baik dan positif.
Cinta memang buta, tapi jangan sampai kita dibutakan oleh cinta.
Cinta memang bisa membuat seseorang jadi bodoh, tapi jangan sampai
kita dibodohi oleh cinta.
Apalagi kalau yang sudah sampai melakukan kekerasan, baik secara
fisik, mental, seksual, verbal, ekonomi (you know, kayak minta dibeliin dan dibayarin ini-itu),
dll. Itu sih, nggak perlu pikir-pikir segala. Langsung saja minta putus. Karena
menurut psikolog, kalau seseorang pernah melakukan kekerasan terhadap pasangannya,
sangat tidak mungkin perbuatan yang sama akan terulang di kemudian hari. Jadi
lebih baik berpisah saat terjadi kekerasan pertama kali, karena jelas,
orang-orang seperti itu sama sekali tidak pantas diberikan kesempatan kedua.
Kekerasan dalam sebuah hubungan
punya siklus klise. Setelah terjadi kekerasan, si pelaku langsung minta maaf,
mengaku bersalah dan menyesal, blablabla. Karena nggak tega, akhirnya korban
menerima permintaan maaf, dan hubungan kembali rukun. Baru deh, setelah
beberapa lama berlanjut dengan konflik lain yang ujung-ujungnya berakhir dengan
kekerasan berikutnya. Yang namanya siklus, tentu saja bisa terjadi
berulang-ulang.
Sekarang bukan lagi zamannya cewek diam saja dan cenderung nurut diperlakukan dengan tidak baik oleh
pasangan. Jangan biarkan cinta menyeret kita ke dalam zona cinta buta. Kalau
memang mau pacaran, pacaran lah dengan sehat. Libatkan logika dan rasio, jangan
lagi terbuai dengan dua kata basi “Demi cinta”.
Come on! It’s soooo last year. Harusnya kita mengganti mindset kita dengan kalimat ini:
p.s : Please lupakan soal hubungan Rihanna dan Chris
Brown yang drama banget bahkan menyaingi sinetron di berbagai stasiun TV
Indonesia, karena bukan sesuatu yang perlu ditiru sama sekali, dan tidak ada
hubungannya dengan posting ini (kecuali judulnya yang terinspirasi dari judul
lagu penyanyi asal Barbados itu).
Pictures: facebook.com |
wordsoverpixels.com | naylaa.com