Tepat satu hari setelah Blackberry Curve 8520 genap dua tahun menemani saya, smartphone tersebut malah hilang karena
kelalaian saya. Sudah dua kali saya kehilangan ponsel karena terjatuh.
Anggap saja
saya sedang iseng beranalogi.
Kehilangan Blackberry sama halnya dengan putus
cinta. Kok bisa?
Selama ini,
saya selalu berpikir bahwa BB saya adalah segalanya. Hampir semua hal bisa saya
lakukan dengannya, mulai dari berhubungan dengan orang-orang di sekitar saya,
meng-update social media, memperoleh
banyak informasi dan berita lewat layanan internet, menyimpan kenangan dalam
bentuk foto, mendengarkan lagu, menonton video, mengirim e-mail yang berhubungan dengan pekerjaan dan tugas sekolah/kuliah,
mencatat ide-ide yang tiba-tiba muncul dalam pikiran, curhat, dan berbagai
manfaat lainnya.
Asal ada
BB, menunggu berjam-jam pun tidak masalah karena setidaknya saya masih bisa
menghabiskan waktu dengan mengutak-atiknya. BB lowbatt dan tidak bisa mengisi ulang baterai saja bisa membuat saya
kelabakan. Saya merasa ada yang kurang kalau sehari saja tidak menyentuh BB.
Ya, secara tidak sadar saya sudah terkena sindrom Crackberry. Jadi begitu BB saya hilang, jelas saja saya sedih. Tapi
perasaan sedih itu semakin lama semakin berkurang. Saya jadi mulai terbiasa menjalani hari-hari saya tanpa
BB. Tidak menyentuh BB tidak lagi menjadi perkara besar.
Sama
seperti saat putus cinta. Sebelumnya kita merasa kita tidak bisa hidup tanpa
orang yang kita cintai. Selama ini kita selalu mengandalkannya, terbiasa berada di dekatnya. Tapi
nyatanya, kita bisa tetap bertahan hidup tanpa orang itu. Sebagai manusia
yang sangat dipengaruhi perasaan, tentu
pada awalnya kita akan merasa sedih dan kehilangan. Namun hal tersebut tidak
akan permanen. Perlahan tapi pasti, rasa sakit itu semakin berkurang. Sampai
akhirnya kita tiba pada fase di mana kita bisa baik-baik saja tanpanya. Terbiasa tidak lagi berada di sisinya.
Dari
analogi tersebut, terdapat satu benang penghubung.
Terbiasa.
Peribahasa “Allah bisa karena biasa” memang bukan
sekedar kata-kata. Manusia cenderung takut melakukan atau mengalami sesuatu
yang tidak biasa mereka lakukan atau
alami. Seolah sudah ada stigma yang menjamin, kita hanya bisa melakukan apa
yang biasa kita lakukan. Padahal
justru stigma itu yang menjadi tembok pembatas. Kita bisa melakukan apa saja,
asalkan kita mau membuat diri kita terbiasa.
Beri
kesempatan diri kita untuk mencoba melakukan sesuatu di luar kebiasaan kita (yang positif tentunya).
Then you will see what you’re capable of.
Picture : meme.yahoo.com
No comments:
Post a Comment