16 January 2013

No More 'Stupid in Love'



Baru-baru ini peneliti menemukan bahwa ketika seseorang jatuh cinta, aktivitas otak di bagian frontal cortex yang berfungsi saat melakukan penilaian, tidak berfungsi. Yang artinya, kita susah melihat sisi buruk dari orang yang sedang kita cintai. Semua tindakannya terasa baik-baik saja. Gara-gara frontal cortex yang lagi mogok kerja inilah, yang menyebabkan kita bersedia melakukan sesuatu (bahkan apa pun) atas nama cinta.
Sumber: Rubrik Hi Girls majalah kaWanku #140 oleh Trinzi Mulamawitri

Sahabat saya termasuk salah satu contoh konkritnya. (Luckily) dia akhirnya sadar dan sekarang sudah putus dari cowoknya yang kurang ajarnya ampun-ampunan itu. Selama pacaran, dia sering dikatai bego, idiot, didorong sampai jatuh, ditinggal pulang saat cowok itu sedang ngambek, bahkan sampai mengatai agama sahabat saya.

Sejak pertama kali sahabat saya curhat mengenai perlakukan mantannya itu, saya selalu menyuruhnya berpikir baik-baik, apakah cowok seperti itu pantas dan layak dipertahankan. Berkali-kali pengin menyuruh dia untuk putus (termasuk geregetan mau memberi ‘pelajaran’ buat si cowok yang satu kampus dengan saya), tapi saya bukan orangtuanya. Saya masih sadar kapasitas saya sebagai sahabat hanya sebatas menasihati dan 'menyadarkannya'.

Sampai akhirnya hampir setahun kemudian, (thank God) dia bisa berpikir jernih dan membuat keputusan untuk berpisah.

Jatuh cinta itu sama sekali bukan kesalahan. Semua manusia di dunia ini berhak mencintai dan dicintai. Cinta adalah salah satu anugerah terindah dari milyaran kebaikan Tuhan di dunia. Tapi bukan berarti kita diperbudak oleh cinta.
Setiap orang punya caranya masing-masing ketika sudah berhadapan dengan cinta. Ada yang memilih memberikan cintanya 100 persen. Namun ada pula yang memberikan hanya 80 persen, dan sisanya berada dalam zona netral, di mana rasio tetap dipertahankan.
Ada yang rela-rela saja melakukan apa pun‒bahkan saat apa pun itu termasuk mengorbankan diri mereka sendiri‒demi orang yang dicintainya. Rasanya kok rasa cinta saya terhadap diri sendiri masih cukup besar sampai tidak ingin menyakiti atau mengorbankan diri demi seorang cewek. Mungkin terdengar egois, tapi kalau bukan kita yang menjaga diri kita sendiri, lantas siapa? Orangtua, kakak/adik, teman, dan manusia lainnya kan tidak mungkin menjaga kita 24/7.
Percayalah, di saat seorang cowok mengatakan, “Katanya kamu sayang sama aku. Kalau gitu, berarti kamu pasti mau...” (isilah titik-titik tersebut dengan berbagai jenis permintaan), itu adalah ciri-ciri cowok itu tidak layak untuk dipertahankan, apalagi diperjuangkan. Cowok yang baik, di saat mereka tahu kalau kita mencintainya, mereka tidak akan menyuruh kita melakukan apa pun demi cinta kita padanya. Mereka justru akan menjaga bagaimana supaya rasa cinta kita tetap bertahan bahkan semakin besar padanya, dengan cara-cara yang baik dan positif.
Cinta memang buta, tapi jangan sampai kita dibutakan oleh cinta.

Cinta memang bisa membuat seseorang jadi bodoh, tapi jangan sampai kita dibodohi oleh cinta.

Apalagi kalau yang sudah sampai melakukan kekerasan, baik secara fisik, mental, seksual, verbal, ekonomi (you know, kayak minta dibeliin dan dibayarin ini-itu), dll. Itu sih, nggak perlu pikir-pikir segala. Langsung saja minta putus. Karena menurut psikolog, kalau seseorang pernah melakukan kekerasan terhadap pasangannya, sangat tidak mungkin perbuatan yang sama akan terulang di kemudian hari. Jadi lebih baik berpisah saat terjadi kekerasan pertama kali, karena jelas, orang-orang seperti itu sama sekali tidak pantas diberikan kesempatan kedua.
Kekerasan dalam sebuah hubungan punya siklus klise. Setelah terjadi kekerasan, si pelaku langsung minta maaf, mengaku bersalah dan menyesal, blablabla. Karena nggak tega, akhirnya korban menerima permintaan maaf, dan hubungan kembali rukun. Baru deh, setelah beberapa lama berlanjut dengan konflik lain yang ujung-ujungnya berakhir dengan kekerasan berikutnya. Yang namanya siklus, tentu saja bisa terjadi berulang-ulang.
Sekarang bukan lagi zamannya cewek diam saja dan cenderung nurut diperlakukan dengan tidak baik oleh pasangan. Jangan biarkan cinta menyeret kita ke dalam zona cinta buta. Kalau memang mau pacaran, pacaran lah dengan sehat. Libatkan logika dan rasio, jangan lagi terbuai dengan dua kata basi “Demi cinta”.


Come on! It’s soooo last year. Harusnya kita mengganti mindset kita dengan kalimat ini:


p.s : Please lupakan soal hubungan Rihanna dan Chris Brown yang drama banget bahkan menyaingi sinetron di berbagai stasiun TV Indonesia, karena bukan sesuatu yang perlu ditiru sama sekali, dan tidak ada hubungannya dengan posting ini (kecuali judulnya yang terinspirasi dari judul lagu penyanyi asal Barbados itu).

Pictures: facebook.com | wordsoverpixels.com | naylaa.com

No comments:

Post a Comment