16 June 2011

Finish Line



"When we were five, they asked us what we wanted to be when we grew up. Our answers were things like astronaut, president, or in my case, a princess. When we were ten, they asked again. We answered rock star, cowboy, or in my case, a gold medalist. But now that we've grown up, they want a serious answer. Well, how about this 'Who the hell knows?'. This isn't the time to make hard and fast desicions. This is the time to make mistakes. Take the wrong train and get stuck somewhere. Fall in love, a lot. Major in philosophy, because there's no way to make career out of that. Change your mind, and change it again, because nothing's permanent. So make as many mistakes as you can. That way, someday, when they ask what we want to be, we won't have to guess. We'll know."

Saya sudah jatuh hati pada pidato Jessica Stanley ini bahkan sejak pertama kali menonton Twilight Saga : Eclipse.

Pidato yang tanpa basa-basi, tanpa ukiran kata-kata indah seperti yang lazim digunakan orang-oran, tapi begitu mengena. Begitu nyata.

Saya ingat betul ketika masih kanak-kanak, orangtua, guru, atau orang lain sering menanyakan pertanyaan yang kurang-lebih sama "Kalau sudah besar nanti ingin jadi apa?". Dan saya juga masih ingat dengan jawaban-jawaban yang saya berikan. Dokter, guru, artis, pahlawan pembela kebenaran (saat itu masih jamannya Sailormoon), peramal (yang ini jujur membuat saya selalu tidak habis pikir), interior designer, psikolog, business woman, sampai pada akhirnya akuntan publik sekaligus penulis.

Saat masih di bawah usia 10 tahun, profesi dokter, guru, pilot, presiden, astronot, dan yang lainnya akan menjadi profesi yang begitu menarik, begitu dikagumi dan didambakan. Namun semakin kita tumbuh menjadi dewasa, kita mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain, sampai kemudian kita mencapai satu titik di mana kita dapat berkata "Saya tau apa yang menjadi cita-cita saya." Ada yang tetap dengan pilihan awal, namun tak sedikit yang berubah. Semua akan menjadi lebih realistis, karena kita sudah menyadari kemampuan dan ketertarikan kita.

Apapun cita-cita kita, berbahagialah kalau kita sudah menemukannya. Bagi yang belum kunjung menemukan apa sebenarnya cita-cita kalian, bergegaslah. Pikirkan saja profesi apa yang membuat kita tidak akan merasa bosan dan lelah jika harus menjalaninya setiap hari selama sisa hidup kita. Gali potensi diri, and find what we're capable of.

Karena hidup tanpa cita-cita itu bagaikan berjalan dalam kegelapan tanpa ada cahaya setitik pun. Tanpa cita-cita, manusia akan hidup terombang-ambing, tanpa tujuan jelas. Cita-cita itu krusial. Patut dimiliki sebagai pedoman. Sebagai sebuah finish line bagi atlet lari, sebuah gawang bagi pemain sepak bola.

Tapi tahu saja belum cukup. Tugas terberat justru adalah mendapatkan keberanian dan motivasi untuk memperjuangkan cita-cita tersebut. Untuk memacu diri agar semakin dekat dengan semuanya itu.


Dan dalam perjalanan mendekat ke arah cita-cita itu, ada banyak sekali rintangan. Akan ada banyak kesalahan yang kita buat. Bahkan jauh sebelum itupun, kita berkali-kali melakukan kesalahan dengan keliru menetapkan cita-cita, juga tidak kunjung menemukan dorongan untuk mewujudkannya.

Kesalahan demi kesalahan. Wajar, bisa dipahami. Karena dengan melakukan kesalahan, kita belajar untuk menemukan mana yang benar. Untuk tidak mengulangi apa yang seharusnya tidak kita lakukan di kemudian hari.

Namun bukan berarti hal tersebut dapat dijadikan excuse untuk terus-menerus berbuat salah. Akan ada waktunya, suatu hari nanti, kita bisa dengan mantap mengatakan "Saya telah mendapatkan apa yang saya inginkan dan apa yang saya buruhkan. Yang terbaik untuk diri saya. Yang terbaik dari diri saya".

Akan ada saatnya, entah kapan, kita bisa menceritakan kepada orang lain, atau mungkin anak-cucu kita, bahwa kita telah berhasil meraih cita-cita kita. Dan bahwa cita-cita yang kita tentukan selagi muda dulu memanglah yang terbaik. Bahwa kita banyak membuat kesalahan, tapi masa itu telah berakhir. Kita sudah belajar. Kita sudah memahami.

“Berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia.” – Andrea Hirata (Sang Pemimpi)

Pictures : fuckyeahtwilight.tumblr.com | nowcatholic.com

No comments:

Post a Comment