Sore itu, saya sedang chatting
via WhatsApp dengan seorang sahabat yang sudah saya kenal sejak pertama kali
masuk kelompok bermain. Kebetulan dia yang kuliah di HongKong, sedang berada di
Jakarta dalam rangka liburan. Sementara saya sedang berada di Semarang, dengan
tujuan utama menjenguk nenek dan keluarga tante saya, yang disambi dengan
liburan. Sahabat saya itu kemudian menanyakan kapan saya akan kembali ke
Jakarta, supaya kami bisa janjian bertemu.
- Gue balik Jumat pukul 4 sore. Naik kereta jadi sampainya sekitar pukul 10 malam.
Tak lama kemudian dia membalas:
- Asik banget Phe (panggilannya untuk saya). Gue pengin nih naik kereta.
Sambil tertawa, kedua jempol saya sibuk bergerak-gerak di
atas keypad.
- Enak apanya? Biasa aja, Neng.
Hanya percakapan santai dan ringan. Tapi herannya, melekat
di pikiran saya.
Hari kepulangan saya ke Jakarta pun tiba. Saat kereta masih
diam di Stasiun Tawang, saya kembali mengulang percakapan dengan sahabat saya
beberapa hari sebelumnya di dalam hati.
Tidak ada yang spesial dengan naik kereta. Apalagi, saat itu
bukan kali pertama saya memanfaatkan jasa transportasi massal ini.
Kemudian saya mengingat menit-menit yang saya lalui selama
perjalanan menuju Semarang, yang juga ditempuh dengan kereta. Saat itu, entah
apa yang membuat sepasang mata saya terpaku menatap pemandangan di luar
jendela. Tak lagi tertarik untuk menonton film yang sengaja diputar, menyalakan
laptop, atau membaca. Hanya lagu-lagu
dalam playlist smartphone yang
menjadi teman perjalanan.
Pemandangannya standar. Langit biru, sawah, ladang jagung, pepohonan,
pemakaman penduduk setempat, jalan raya dengan kendaraan roda dua dan empat
yang berhenti di belakang palang, sungai, jembatan, juga laut yang birunya
terlihat menyatu dengan langit.
Namun, pemandangan yang berkelebat cepat seiring laju
kereta, terasa begitu familiar. Kemudian saya menyadarinya. Familiar, karena
sama seperti kehidupan itu sendiri. Berjalan begitu cepat. Hari demi hari
terlewat tanpa kita menyadarinya. Sepenuhnya kendali kita. Mau membiarkannya
berlalu begitu saja, atau mencoba menikmati gulirnya.
Sama seperti delapan hari yang saya lalui di Semarang. Tak
terasa hari demi hari terlewat, sampai akhirnya tiba hari kepulangan.
Seperti hari-hari liburan pergantian semester selama hampir
dua bulan yang tak terasa hanya tersisa beberapa hari saja.
Semua yang saya lihat di balik jendela kereta adalah
hari-hari itu. Kadang terasa sangat standar, tidak istimewa, begitu-begitu
saja. Kita cenderung membiarkan hari semacam itu berlalu begitu saja. Padahal
mungkin saja hari itu bisa menjadi di luar standar, istimewa, tidak
begitu-begitu saja, di saat kita mencoba menikmatinya.
Kembali ke sore itu. Kebetulan tempat duduk saya diapit oleh
para penumpang yang membawa putra-putri mereka. Di kursi depan, belakang,
samping, dua baris di depan. Saya sempat merasa perjalanan pulang kali ini akan
menjadi tidak menyenangkan dengan keributan atau tangisan yang ditimbulkan para
balita itu. Ibu saya dengan kalemnya mengatakan, “Anggap saja latihan, supaya
kamu bisa tahan sabar.”
Dan ternyata pemikiran saya salah. Perjalanan enam jam
bahkan tidak terasa sama sekali. Saya menyumbat kedua telinga saya dengan
earphone. Menonton film Taxi 2 yang ditayangkan, membaca novel, mengamati
sekitar. Kali ini tanpa menatap keluar jendela seperti yang saya lakukan dalam
perjalan keberangkatan, karena kegelapan langit menyembunyikan sawah, ladang
jagung, pepohonan, pemakaman penduduk setempat, jalan raya dengan kendaraan
roda dua dan empat yang berhenti di belakang palang, sungai, jembatan, juga
laut.
Tapi saya merasa nyaman. Bahkan di saat saya menikmati
santap malam sederhan berwujud mie instan tanpa mengenakan earphone, saya tidak
terganggu dengan kebisingan di dalam gerbong yang didominasi oleh tiga anak
yang duduk tepat di belakang kursi saya. Entah seperti perkataan ibu saya, ‘tahan
sabar’, atau karena saya memilih untuk mengabaikannya.
Maka, saya pun mengamini balasan sederhana dari sahabat
saya. Naik kereta yang mulanya saya katakan biasa saja, ternyata bisa menjadi
sebuah perjalanan yang membuat saya menemukan sesuatu di luar kata ‘biasa’.
Picture : tumblr.com
No comments:
Post a Comment