18 August 2013

Sebuah Perjalanan di atas Rel


Sore itu, saya sedang chatting via WhatsApp dengan seorang sahabat yang sudah saya kenal sejak pertama kali masuk kelompok bermain. Kebetulan dia yang kuliah di HongKong, sedang berada di Jakarta dalam rangka liburan. Sementara saya sedang berada di Semarang, dengan tujuan utama menjenguk nenek dan keluarga tante saya, yang disambi dengan liburan. Sahabat saya itu kemudian menanyakan kapan saya akan kembali ke Jakarta, supaya kami bisa janjian bertemu.

  • Gue balik Jumat pukul 4 sore. Naik kereta jadi sampainya sekitar pukul 10 malam.
Tak lama kemudian dia membalas:

  • Asik banget Phe (panggilannya untuk saya). Gue pengin nih naik kereta.
Sambil tertawa, kedua jempol saya sibuk bergerak-gerak di atas keypad.

  • Enak apanya? Biasa aja, Neng.
Hanya percakapan santai dan ringan. Tapi herannya, melekat di pikiran saya.

Hari kepulangan saya ke Jakarta pun tiba. Saat kereta masih diam di Stasiun Tawang, saya kembali mengulang percakapan dengan sahabat saya beberapa hari sebelumnya di dalam hati.

Tidak ada yang spesial dengan naik kereta. Apalagi, saat itu bukan kali pertama saya memanfaatkan jasa transportasi massal ini.

Kemudian saya mengingat menit-menit yang saya lalui selama perjalanan menuju Semarang, yang juga ditempuh dengan kereta. Saat itu, entah apa yang membuat sepasang mata saya terpaku menatap pemandangan di luar jendela. Tak lagi tertarik untuk menonton film yang sengaja diputar, menyalakan laptop, atau membaca. Hanya lagu-lagu dalam playlist smartphone yang menjadi teman perjalanan.

Pemandangannya standar. Langit biru, sawah, ladang jagung, pepohonan, pemakaman penduduk setempat, jalan raya dengan kendaraan roda dua dan empat yang berhenti di belakang palang, sungai, jembatan, juga laut yang birunya terlihat menyatu dengan langit.

Namun, pemandangan yang berkelebat cepat seiring laju kereta, terasa begitu familiar. Kemudian saya menyadarinya. Familiar, karena sama seperti kehidupan itu sendiri. Berjalan begitu cepat. Hari demi hari terlewat tanpa kita menyadarinya. Sepenuhnya kendali kita. Mau membiarkannya berlalu begitu saja, atau mencoba menikmati gulirnya.

Sama seperti delapan hari yang saya lalui di Semarang. Tak terasa hari demi hari terlewat, sampai akhirnya tiba hari kepulangan.

Seperti hari-hari liburan pergantian semester selama hampir dua bulan yang tak terasa hanya tersisa beberapa hari saja.

Semua yang saya lihat di balik jendela kereta adalah hari-hari itu. Kadang terasa sangat standar, tidak istimewa, begitu-begitu saja. Kita cenderung membiarkan hari semacam itu berlalu begitu saja. Padahal mungkin saja hari itu bisa menjadi di luar standar, istimewa, tidak begitu-begitu saja, di saat kita mencoba menikmatinya.

Kembali ke sore itu. Kebetulan tempat duduk saya diapit oleh para penumpang yang membawa putra-putri mereka. Di kursi depan, belakang, samping, dua baris di depan. Saya sempat merasa perjalanan pulang kali ini akan menjadi tidak menyenangkan dengan keributan atau tangisan yang ditimbulkan para balita itu. Ibu saya dengan kalemnya mengatakan, “Anggap saja latihan, supaya kamu bisa tahan sabar.”

Dan ternyata pemikiran saya salah. Perjalanan enam jam bahkan tidak terasa sama sekali. Saya menyumbat kedua telinga saya dengan earphone. Menonton film Taxi 2 yang ditayangkan, membaca novel, mengamati sekitar. Kali ini tanpa menatap keluar jendela seperti yang saya lakukan dalam perjalan keberangkatan, karena kegelapan langit menyembunyikan sawah, ladang jagung, pepohonan, pemakaman penduduk setempat, jalan raya dengan kendaraan roda dua dan empat yang berhenti di belakang palang, sungai, jembatan, juga laut.

Tapi saya merasa nyaman. Bahkan di saat saya menikmati santap malam sederhan berwujud mie instan tanpa mengenakan earphone, saya tidak terganggu dengan kebisingan di dalam gerbong yang didominasi oleh tiga anak yang duduk tepat di belakang kursi saya. Entah seperti perkataan ibu saya, ‘tahan sabar’, atau karena saya memilih untuk mengabaikannya.

Maka, saya pun mengamini balasan sederhana dari sahabat saya. Naik kereta yang mulanya saya katakan biasa saja, ternyata bisa menjadi sebuah perjalanan yang membuat saya menemukan sesuatu di luar kata ‘biasa’.

Picture : tumblr.com

No comments:

Post a Comment