Sky sudah tidak ada. Jadi kita tidak
perlu bertemu lagi.
Dengan tangan gemetar, akhirnya
kutekan tombol send. Lima menit,
setengah jam, bahkan sampai dua jam setelahnya, tidak ada balasan apapun. Rasa
kecewa yang mendalam perlahan merayapi hatiku. Pesan yang tak kunjung mengisi inbox ponsel kumaknai sebagai
persetujuan.
Semuanya sudah jelas. Aku dan
Aska telah kehilangan alasan itu. Alasan yang sampai kemarin masih melandasi
hubungan entah jenis apa yang terjalin di antara kami.
Aku langsung menyadarinya begitu melihat tubuh berbulu cokelat
keemasan Sky tergolek tak berdaya di tengah jalan kemarin. Aroma anyir yang
menyeruak segera menghadirkan sensasi yang begitu mengerikan. Ekspresi horor
tak hanya tercipta di wajahku. Bagai sedang berkaca, ekspresi yang sama juga
menghiasi wajah Aska yang biasanya didominasi senyuman hangat. Oh, Sky kami
yang malang!
Aku menatap hampa taman kecil
yang selalu kusinggahi setiap sore. Seharusnya sekarang aku sedang tertawa
bersama Sky. Dan Aska. Seperti yang selalu terjadi setiap kali kami bertukar
momen indah selama satu hingga dua jam.
Sky bukan sekedar anjing Golden Retriever
yang kutemukan dalam keadaan terluka di tempat yang sama tiga tahun yang lalu. Pertemuan
dengannya juga menandai perjumpaan pertamaku dengan Aska. Tanpa sadar, kami
memainkan peran sebagai orangtua Sky. Membawanya pulang bergantian. Melimpahkan
kasih sayang padanya.
Aku tidak ingat kapan kali pertama kami memulai topik pembicaraan
di luar hal-hal yang menyangkut Sky. Satu yang kuingat pasti, saat itu aku
tidak lagi merasa kesepian.
Tapi hari ini akhirnya datang
juga. Hari di mana aku kehilangan keduanya. Yang satu karena maut, sedang yang
lainnya karena diriku yang terlalu pengecut ini merasa tidak ada lagi alasan
untuk tetap mempertahankan sosoknya. Bagiku, Aska hanya terjangkau di saat Sky
berada di tengah kami.
“Sky memang sudah tidak ada. Tapi
aku ingin kita tetap bisa bertemu. Tidak hanya di taman ini, tapi juga di tempat
lain. Tidak hanya di sore hari, tapi kapan saja kita ingin bertemu.” Untaian
suara selembut angin senja menggelitik indra pendengaranku. Suara yang terlalu
familiar, dan tak kusangka masih bisa kudengar. Terlebih di saat ini, di saat
alasan untuk mendengarnya telah tiada.
“Hari itu, bukan kita yang
menemukan Sky. Tapi Sky-lah yang mempertemukan kita. Aku sudah kehilangan Sky,
dan tidak ingin kehilangan lagi.”***
Picture
: tumblr.com
No comments:
Post a Comment