02 November 2012

Comfort Zone



Kebanyakan manusia memilih untuk stay dalam comfort zone mereka masing-masing. Untuk apa keluar dari zona aman, hanya untuk pindah ke zona lain yang belum teruji apakah aman atau tidak. Untuk apa mengorbankan kebiasaan lama yang sudah menjadi bagian kehidupan kita, hanya untuk menjalani aktivitas lain yang belum tentu membawa perbaikan, atau malah mendatangkan masalah?

Pemikiran semacam itu sangat wajar timbul setiap kali kita hendak move on dari comfort zone. Masing-masing manusia punya definisi berbeda mengenai comfort zone. Sama seperti selera dan opini. Bentuk comfort zone pun bervariasi, mulai dari yang paling sederhana seperti sarapan dengan roti, sampai pada hal yang sangat krusial seperti memutuskan untuk berhenti kerja kantoran demi memulai usaha sendiri.

Saya senang melihat segala sesuatu dari sisi yang paling sederhana.  Termasuk soalcomfort zone.
Yang termasuk comfort zone saya adalah berambut panjang. Setelah melewati masa balita, saya selalu bertahan dengan rambut lurus-hitam-panjang (sepunggung). Tidak seperti teman-teman cewek saya yang suka ke salon entah itu untuk potong rambut atau melakukan berbagai treatment lain, saya baru akan pergi ke salon di saat benar-benar ingin menggunting rambut.
Sampai akhirnya suatu hari, tepatnya sehari setelah ulang tahun saya yang ke-19, saya memutuskan untuk memotong rambut yang saat itu bisa dikatakan rambut terpanjang saya selama ini.
Sama seperti biasanya, saya hanya akan menggunting rambut saya tidak lebih dari lima senti, sampai-sampai lebih sering terlihat tidak ada bedanya antara sebelum dan sesudah gunting rambut. Saat itu pun saya mengatakan kepada kapster bahwa saya ingin memotong rambut saya sekitar satu jengkal.
Yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan saya. Saya terlambat menyadari bahwa rambut saya sudah digunting hampir separuhnya. Sempat syok, tapi akhirnya saya menguatkan hati dan terus mengatakan ‘tidak apa-apa’ kepada diri saya sendiri.
Hari-hari awal, saya sempat merasa aneh dan tidak pede dengan rambut sebahu saya. Terakhir kali rambut saya sependek ini saat berusia tiga sampai empat tahun, dan itu berarti sudah hampir lima belas tahun yang lalu. Tapi mau diapakan lagi, rambut saya sudah terlanjur digunting. Saya bisa saja melakukan hair extension. Tapi rambut saya yang pertamanya terlihat aneh karena istilahnya masih ‘belum nurut’, perlahan tidak lagi terlihat aneh. Beberapa orang sempat kaget melihat rambut pendek saya, tapi tidak ada yang mengatakan jelek. Hanya belum terbiasa, begitu kata mereka.

Walaupun bisa dikatakan sebagai ‘kecelakaan’, saya tidak menyesal sama sekali. Kalaukapster itu tidak terlalu ‘bernafsu’ menggunting rambut saya, mungkin sampai bertahun-tahun ke depan saya akan tetap bertahan dengan rambut panjang. Padahal surprisingly, short hair is not that bad.
Hal sesederhana ini juga bisa diaplikasikan pada hal yang lebih krusial.
Karena kita sudah terlalu nyaman dan aman dalam comfort zone kita, kita jadi terlalu ‘betah’ dan tidak ingin beranjak. Padahal keluar dari comfort zone sekali-sekali dapat memberikan perubahan. Maybe the life changing one.

Tempat di luar comfort zone yang dalam bayangan kita akan menjadi tempat yang menyeramkan, bisa jadi memberikan banyak pengalaman berharga yang tidak akan kita dapatkan kalau terus-terusan stay dalam comfort zone.
Kalaupun ternyata kita ‘celaka’ di luar sana, setidaknya kita mendapat kesempatan untuk belajar dari ‘kecelakaan’ tersebut.
"Sometimes, being out of your comfort zone is a good thing." - Frost Nixon (2008)
Picture: piccsy.com

No comments:

Post a Comment