Di tepi
sungai, ada seorang pertapa yang sedang melakukan meditasi. Di sela-sela
meditasi tersebut, ia mendengar suara berisik gemericik air yang tidak biasa.
Ternyata ada seekor kepiting yang sedang berusaha menyelamatkan diri agar tidak
terseret arus sungai yang deras. Terdorong oleh belas kasihan, pertapa tersebut
menjulurkan tangannya untuk menolong si kepiting. Tentu saja kepiting itu
mencapitnya, menimbulkan luka pada tangan si pertapa. Tapi karena niatnya
memang menolong, pertapa tersebut tetap merasa senang. Kejadian seperti itu
berlangsung berkali-kali, sampai akhirnya tangan si pertapa bengkak akibat
capitan kepiting-kepiting yang ditolongnya. Kemudian datanglah pertapa lain
yang lebih senior. Melihat tangan pertapa muda, ia menanyakan penyebabnya.
Pertapa muda pun menjelaskan kejadian yang dialaminya. Kemudian pertapa tua
mengambil ranting pohon dan menunjukkan kepada si pertapa muda, bagaimana cara
menolong kepiting tanpa perlu melukai tangannya.
Dari ilustrasi singkat ini, tentu saja ada nilai yang bisa kita ambil.
Menolong sesama yang sedang kesusahan memang sebuah
kewajiban. Tapi kita juga harus bisa bertindak dengan bijaksana. Menolong
dengan tulus bukan berarti mengorbankan diri sendiri, kan?
Contohnya dalam kehidupan modern sehari-hari bisa diilustrasikan sebagai
berikut:
Teman kita kebetulan tidak bisa mengikuti mata kuliah A karena ada urusan
lain, kemudian minta tolong kita untuk menandatangani absennya, dengan alasan
dosen mata kuliah tersebut jarang mengabsen mahasiswa dengan memanggil nama
satu per satu. Karena kasihan dan berniat membantu, kita pun menandatangani
absennya. Tapi sialnya, hari itu dosen yang bersangkutan mengabsen satu per
satu dengan memanggil nama. Apa yang terjadi selanjutnya? Bukankah kita dan
teman yang niatnya kita bantu itu malah sama-sama mendapatkan sanksi?
Intinya, bantulah sesama yang membutuhkan dengan setulus hati, juga dengan
bijaksana :)
Picture : thefaintestspark.tumblr.com
No comments:
Post a Comment