16 April 2012

Menolong dengan Bijaksana



Di tepi sungai, ada seorang pertapa yang sedang melakukan meditasi. Di sela-sela meditasi tersebut, ia mendengar suara berisik gemericik air yang tidak biasa. Ternyata ada seekor kepiting yang sedang berusaha menyelamatkan diri agar tidak terseret arus sungai yang deras. Terdorong oleh belas kasihan, pertapa tersebut menjulurkan tangannya untuk menolong si kepiting. Tentu saja kepiting itu mencapitnya, menimbulkan luka pada tangan si pertapa. Tapi karena niatnya memang menolong, pertapa tersebut tetap merasa senang. Kejadian seperti itu berlangsung berkali-kali, sampai akhirnya tangan si pertapa bengkak akibat capitan kepiting-kepiting yang ditolongnya. Kemudian datanglah pertapa lain yang lebih senior. Melihat tangan pertapa muda, ia menanyakan penyebabnya. Pertapa muda pun menjelaskan kejadian yang dialaminya. Kemudian pertapa tua mengambil ranting pohon dan menunjukkan kepada si pertapa muda, bagaimana cara menolong kepiting tanpa perlu melukai tangannya.
Dari ilustrasi singkat ini, tentu saja ada nilai yang bisa kita ambil.

Menolong sesama yang sedang kesusahan memang sebuah kewajiban. Tapi kita juga harus bisa bertindak dengan bijaksana. Menolong dengan tulus bukan berarti mengorbankan diri sendiri, kan?

Contohnya dalam kehidupan modern sehari-hari bisa diilustrasikan sebagai berikut:

Teman kita kebetulan tidak bisa mengikuti mata kuliah A karena ada urusan lain, kemudian minta tolong kita untuk menandatangani absennya, dengan alasan dosen mata kuliah tersebut jarang mengabsen mahasiswa dengan memanggil nama satu per satu. Karena kasihan dan berniat membantu, kita pun menandatangani absennya. Tapi sialnya, hari itu dosen yang bersangkutan mengabsen satu per satu dengan memanggil nama. Apa yang terjadi selanjutnya? Bukankah kita dan teman yang niatnya kita bantu itu malah sama-sama mendapatkan sanksi?

Intinya, bantulah sesama yang membutuhkan dengan setulus hati, juga dengan bijaksana :)

Picture : thefaintestspark.tumblr.com

No comments:

Post a Comment