07 January 2011

Waktu yang Tertunda




Pada suatu hari, hiduplah seorang anak. Anak tersebut hidup dalam keluarga yang bahagia, dengan orang tua dan sanak keluarganya. Tetapi, dia selalu menganggap itu sesuatu yang wajar saja. Dia terus bermain, mengganggu adik dan kakaknya, membuat masalah bagi orang lain adalah hal kesukaannya. Ketika ia menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata,"Tidak apa-apa, besok kan bisa." 
Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, ia menganggap itu wajar-wajar aja. Suatu hari, ia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi ia tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, "Tidak apa-apa, besok kan bisa." 
Seiring berjalannya waktu, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun ia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling bertegur sapa. Tapi itu bukan masalah baginya, karena ia merasa masih punya banyak teman baik yang lain. 
Setelah lulus, pekerjaan membuatnya sibuk. Ia bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik dan baik. Wanita ini kemudian menjadi istrinya. Ia begitu sibuk dengan pekerjaanya, karena ia ingin mendapatkan promosi jabatan dalam waktu sesingkat mungkin. 
Dalam perjalanan karirnya, kadang-kadang ia rindu untuk bertemu teman-teman lamanya. Tapi ia tidak pernah lagi menghubungi mereka, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, "Ah, aku capek, besok saja aku hubungi mereka". Hal ini tidak terlalu mengganggumyaa karena dia punya teman-teman sekerja yang selalu mau diajak keluar. 
Jadi, waktu pun berlalu, ia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya. Setelah ia menikah dan punya anak, ia bekerja lebih keras untuk membahagiakan keluarganya. Ia tidak pernah lagi membeli bunga untuk istrinya, atau pun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak masalah baginya, karena ia menganggap istrinya selalu mengerti dan tidak pernah menyalahkannya. 
Kadang-kadang ia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya "Aku cinta kamu", tapi ia tidak pernah melakukannya. Alasannya, "Tidak apa-apa, saya pasti besok akan mengatakannya." Ia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, tapi ia tidak tahu ini akan berpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya. 
Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan tabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, ia sedang ada rapat di kantor. Ia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal. Ia baru datang saat istrinya akan dijemput maut. Sebelum sempat berkata "Aku cinta kamu", istrinya telah meninggal dunia. Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri melalui anak-anaknya setelah kematian istrinya. 
Tapi, ia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya. Segera, anak-anaknya dewasa dan membangun keluarga masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktu untuk mereka. 
Saat mulai renta, ia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Ia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60, dan 70. 
Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawai, New Zealand, dan negara-negara lain bersama istrinya, tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu sampai ia meninggal, hanya ada orang-orang tua dan suster yang merawatnya. 
Ia merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Saat ia akan meninggal, ia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, "Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu...." Kemudian perlahan ia menghembuskan napas terakhir, dan dia meninggal dunia dengan air mata di pipinya.
Picture : jayisbored.tumblr.com

No comments:

Post a Comment