Mungkin
hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tangki penuh bahan bakar. Ketika sang
pengendara sadar bahan bakarnya sudah hampir habis, ia baru mengambil keputusan
perlu tidaknya pendingin digunakan, untuk memperpanjang perjalanan, untuk
sampai ke tujuan yang diinginkan.
Cerpen Waktu Nayla oleh Djenar Maesa
Ayu (Pernah dimuat di Harian Kompas edisi Minggu, 31 Maret
2002 dan kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Semua manusia pasti akan
menghilang dari peradaban ini. Setiap manusia akan kembali ke wujud asal
sebelum dirinya ada sebagai janin dalam rahim. Abu, debu, tanah, partikel, apa
pun itu. Setiap angka natalitas juga berarti mortalitas. Berapa banyak yang
lahir, sejumlah itulah yang akan meninggal. Soal kapan, bagaimana, kenapa, itu hak
prerogatif Tuhan yang tentukan. Kita manusia hanya ditugasi untuk menjalani
hidup, dengan segala suka dukanya, segala manis pahitnya.
Selama manusia tidak tahu kapan
limit waktunya bernapas, ia bagai kuda yang berlarian bebas di padang rumput.
Melakukan hal yang disukainya tanpa perlu mempertimbangkan banyak hal. Sampai
kemudian berilah ia limit. Ketika 'vonis mati' sudah dijatuhkan kapan
terlaksana, akan muncul berbagai ketakutan dan pertimbangan. Bagai penulis
dikejar deadline, setiap waktu akan terasa begitu bermakna. Berupaya mencari
cara supaya detik waktu yang tersisa bisa diperlambat.
Kenapa tidak lebih awal sadari
fakta itu. Lebih awal manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Supaya kapan pun 'vonis
mati' itu menghampiri, kita bisa menyambutnya dalam senyum. Dengan tenang
katakan "Saya siap", karena memang diri sudah ditempa. Supaya tidak
ada penyesalan. Agar tidak perlu memforsir diri di akhir perjalanan dan bisa
menikmatinya.
Picture :
miguelrockstar.tumblr.com
No comments:
Post a Comment