Editor majalah remaja di tempat saya bekerja sebagai tenaga freelance pernah berpesan, “Emosi saat kita menulis sesuatu
dapat dirasakan oleh pembaca. Jadi, menulislah dengan gembira, jangan karena
terpaksa, apalagi sambil mengomel.”
Saya menjadikan pesan itu
sebagai pedoman sampai saat ini, karena saya sudah merasakan sendiri efeknya
berulang kali.
Mungkin kita berpikir,
komunikasi via SMS, BBM, Twitter, Facebook, Chat Messanger, atau media
komunikasi non verbal lainnya bisa menyembunyikan emosi dan perasaan kita yang
sebenarnya. Sayangnya yang terjadi tidak seperti itu.
Dengan berbalas pesan
secara tulisan, sebenarnya kita sama saja sedang ‘berbicara’ dengan si pembaca.
Memang tidak ada nada atau intonasi yang bisa didengar oleh orang tersebut.
Tapi itulah kekuatan tulisan.
Saat kita menulis dalam keadaan bad mood atau kesal, maka
si pembaca (dengan catatan pembaca tersebut normal secara pemikiran dan
emosional), akan bisa menangkap emosi kita lewat tulisan tersebut. Kita bisa
saja menambahkan emoticontersenyum, tertawa, atau ‘hehe’, ‘wkwk’,
dan sebagainya untuk menyamarkan perasaan kesal kita, tapi pasti akan ada
perbedaan dengan tulisan yang kita kirim di saat mood kita
sedang baik. Terlebih kalau kita berbalas pesan dengan orang yang sudah sangat
mengenal kita, atau dekat dengan kita.
Saya pernah menjadi si
pengirim pesan, juga menjadi ‘korban’ alias pembaca. Berkomunikasi tanpa
bertatap muka, kita tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh lawan bicara
kita. Kita tidak bisa mengetahui apakah perasaannya sedang baik atau tidak.
Bisa saja lawan bicara kita baru saja menghadapi masalah dengan orang lain,
kemudian kita yang menjadi ‘sasaran pelampiasan’ karena kebetulan mengirim
pesan di saat yang tidak tepat.
Biasanya, kalau saya sedang bad mood kemudian membalas
pesan dari teman atau orang-orang yang sudah mengenal saya cukup baik, mereka
seperti bisa merasakan bahwa mood saya sedang tidak bagus,
meskipun saya mencoba menulis senormal mungkin. Seolah mereka berada di depan
saya, dan bisa mendengarkan pesan tersebut keluar langsung dari mulut saya
dengan intonasi yang tidak baik, lengkap dengan ekspresi keruh. Begitu pula
saat giliran orang yang saya kirimi pesan kemudian membalas dalam suasana hati
kurang bagus.
Dalam kehidupan
sehari-hari, kita lebih sering berbalas pesan dengan orang-orang yang sudah
kita kenal sebelumnya, sehingga kemungkinan besar mereka bisa memaklumi keadaan
kita. Tapi akan beda ceritanya kalau kita sedang berbalas pesan dengan orang
penting. Contohnya, atasan di tempat kerja, perwakilan dari perusahaan tempat
kita baru saja melamar, orangtua pacar, dosen pembimbing skripsi, dan orang
penting lainnya. Bukannya malah akan menjadi boomerang bagi diri kita sendiri?
Terlebih lagi kalau kita bekerja di dunia penulisan, seperti
jurnalis/reporter atau penulis. Pembaca yang membaca hasil tulisan kita, juga
bisa merasakan emosi kita saat menulis. Misalkan kita menulis sebuah artikel
yang tidak kita sukai, tidak kita kuasai materinya dengan baik, plus deadline yang
singkat. Kemudian kita menulis artikel itu dengan terpaksa demi memenuhi
kewajiban, sambil terus-menerus mengeluh, dengan perasaan kesal. Bukankah
pembaca akan merasakan perasaan negatif itu?
Karenanya, usahakan sebisa mungkin untuk menulis dalam
keadaan emosi yang terkendali, dan tentunya dengan senang hati. Kalau kebetulan
saat itu mood kita sedang tidak baik, tenangkan diri terlebih
dahulu. Saat merasa sudah lebih baik, baru balas pesan atau mulai menulis.
Dengan begitu, orang yang membaca pesan atau tulisan kita tidak akan terkena
imbas negatif.
Picture:
lifestyle.allwomenstalk.com
No comments:
Post a Comment