17 February 2012

Menulis dengan Bahagia



Editor majalah remaja di tempat saya bekerja sebagai tenaga freelance pernah berpesan, “Emosi saat kita menulis sesuatu dapat dirasakan oleh pembaca. Jadi, menulislah dengan gembira, jangan karena terpaksa, apalagi sambil mengomel.”
Saya menjadikan pesan itu sebagai pedoman sampai saat ini, karena saya sudah merasakan sendiri efeknya berulang kali.
Mungkin kita berpikir, komunikasi via SMS, BBM, Twitter, Facebook, Chat Messanger, atau media komunikasi non verbal lainnya bisa menyembunyikan emosi dan perasaan kita yang sebenarnya. Sayangnya yang terjadi tidak seperti itu.
Dengan berbalas pesan secara tulisan, sebenarnya kita sama saja sedang ‘berbicara’ dengan si pembaca. Memang tidak ada nada atau intonasi yang bisa didengar oleh orang tersebut. Tapi itulah kekuatan tulisan.
Saat kita menulis dalam keadaan bad mood atau kesal, maka si pembaca (dengan catatan pembaca tersebut normal secara pemikiran dan emosional), akan bisa menangkap emosi kita lewat tulisan tersebut. Kita bisa saja menambahkan emoticontersenyum, tertawa, atau ‘hehe’, ‘wkwk’, dan sebagainya untuk menyamarkan perasaan kesal kita, tapi pasti akan ada perbedaan dengan tulisan yang kita kirim di saat mood kita sedang baik. Terlebih kalau kita berbalas pesan dengan orang yang sudah sangat mengenal kita, atau dekat dengan kita.
Saya pernah menjadi si pengirim pesan, juga menjadi ‘korban’ alias pembaca. Berkomunikasi tanpa bertatap muka, kita tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh lawan bicara kita. Kita tidak bisa mengetahui apakah perasaannya sedang baik atau tidak. Bisa saja lawan bicara kita baru saja menghadapi masalah dengan orang lain, kemudian kita yang menjadi ‘sasaran pelampiasan’ karena kebetulan mengirim pesan di saat yang tidak tepat.
Biasanya, kalau saya sedang bad mood kemudian membalas pesan dari teman atau orang-orang yang sudah mengenal saya cukup baik, mereka seperti bisa merasakan bahwa mood saya sedang tidak bagus, meskipun saya mencoba menulis senormal mungkin. Seolah mereka berada di depan saya, dan bisa mendengarkan pesan tersebut keluar langsung dari mulut saya dengan intonasi yang tidak baik, lengkap dengan ekspresi keruh. Begitu pula saat giliran orang yang saya kirimi pesan kemudian membalas dalam suasana hati kurang bagus.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih sering berbalas pesan dengan orang-orang yang sudah kita kenal sebelumnya, sehingga kemungkinan besar mereka bisa memaklumi keadaan kita. Tapi akan beda ceritanya kalau kita sedang berbalas pesan dengan orang penting. Contohnya, atasan di tempat kerja, perwakilan dari perusahaan tempat kita baru saja melamar, orangtua pacar, dosen pembimbing skripsi, dan orang penting lainnya. Bukannya malah akan menjadi boomerang bagi diri kita sendiri?
Terlebih lagi kalau kita bekerja di dunia penulisan, seperti jurnalis/reporter atau penulis. Pembaca yang membaca hasil tulisan kita, juga bisa merasakan emosi kita saat menulis. Misalkan kita menulis sebuah artikel yang tidak kita sukai, tidak kita kuasai materinya dengan baik, plus deadline yang singkat. Kemudian kita menulis artikel itu dengan terpaksa demi memenuhi kewajiban, sambil terus-menerus mengeluh, dengan perasaan kesal. Bukankah pembaca akan merasakan perasaan negatif itu?

Karenanya, usahakan sebisa mungkin untuk menulis dalam keadaan emosi yang terkendali, dan tentunya dengan senang hati. Kalau kebetulan saat itu mood kita sedang tidak baik, tenangkan diri terlebih dahulu. Saat merasa sudah lebih baik, baru balas pesan atau mulai menulis. Dengan begitu, orang yang membaca pesan atau tulisan kita tidak akan terkena imbas negatif.
Picture: lifestyle.allwomenstalk.com

No comments:

Post a Comment