04 July 2013

Alasan Lain


Sky sudah tidak ada. Jadi kita tidak perlu bertemu lagi.
               Dengan tangan gemetar, akhirnya kutekan tombol send. Lima menit, setengah jam, bahkan sampai dua jam setelahnya, tidak ada balasan apapun. Rasa kecewa yang mendalam perlahan merayapi hatiku. Pesan yang tak kunjung mengisi inbox ponsel kumaknai sebagai persetujuan.
               Semuanya sudah jelas. Aku dan Aska telah kehilangan alasan itu. Alasan yang sampai kemarin masih melandasi hubungan entah jenis apa yang terjalin di antara kami.
Aku langsung menyadarinya begitu melihat tubuh berbulu cokelat keemasan Sky tergolek tak berdaya di tengah jalan kemarin. Aroma anyir yang menyeruak segera menghadirkan sensasi yang begitu mengerikan. Ekspresi horor tak hanya tercipta di wajahku. Bagai sedang berkaca, ekspresi yang sama juga menghiasi wajah Aska yang biasanya didominasi senyuman hangat. Oh, Sky kami yang malang!
               Aku menatap hampa taman kecil yang selalu kusinggahi setiap sore. Seharusnya sekarang aku sedang tertawa bersama Sky. Dan Aska. Seperti yang selalu terjadi setiap kali kami bertukar momen indah selama satu hingga dua jam.
               Sky bukan sekedar anjing Golden Retriever yang kutemukan dalam keadaan terluka di tempat yang sama tiga tahun yang lalu. Pertemuan dengannya juga menandai perjumpaan pertamaku dengan Aska. Tanpa sadar, kami memainkan peran sebagai orangtua Sky. Membawanya pulang bergantian. Melimpahkan kasih sayang padanya.
Aku tidak ingat kapan kali pertama kami memulai topik pembicaraan di luar hal-hal yang menyangkut Sky. Satu yang kuingat pasti, saat itu aku tidak lagi merasa kesepian.
               Tapi hari ini akhirnya datang juga. Hari di mana aku kehilangan keduanya. Yang satu karena maut, sedang yang lainnya karena diriku yang terlalu pengecut ini merasa tidak ada lagi alasan untuk tetap mempertahankan sosoknya. Bagiku, Aska hanya terjangkau di saat Sky berada di tengah kami.
               “Sky memang sudah tidak ada. Tapi aku ingin kita tetap bisa bertemu. Tidak hanya di taman ini, tapi juga di tempat lain. Tidak hanya di sore hari, tapi kapan saja kita ingin bertemu.” Untaian suara selembut angin senja menggelitik indra pendengaranku. Suara yang terlalu familiar, dan tak kusangka masih bisa kudengar. Terlebih di saat ini, di saat alasan untuk mendengarnya telah tiada.
               “Hari itu, bukan kita yang menemukan Sky. Tapi Sky-lah yang mempertemukan kita. Aku sudah kehilangan Sky, dan tidak ingin kehilangan lagi.”***


Picture : tumblr.com

No comments:

Post a Comment