Menyontek.
Kata ini pasti selalu
dikaitkan dengan pelajar, entah itu mulai dari pelajar sekolah dasar sampai
perguruan tinggi sekalipun.
Mungkin bagi sebagian
orang hal ini wajar saja, terutama dalam keadaan mendesak. Tapi saya sangat
tidak setuju dengan pendapat tersebut.
Bukan berarti saya tidak pernah menyontek. Saya pernah melakukannya. Sering
bahkan. Terutama saat saya yang biasanya mengandalkan belajar dengan SKK
(Sistem Kebut Kilat, bukan lagi Sistem Kebut Semalam), di mana saat ulangan
berlangsung tiba-tiba otak saya blank. Akhirnya menyontek pun
menjadi solusi yang paling mudah dan menjanjikan.
Lalu pasti akan timbul
pemikiran seperti ini "Munafik! Bilangnya nggak setuju, tapi ngelakuin
juga."
Negara ini negara demokratis. Feel free to think about me like that.
Tapi saya punya alasan
kuat. Alasan yang baru saja saya dapatkan saat duduk di bangku terakhir dalam
jenjang sekolah menengah atas.
Coba bayangkan, kalau saat mengerjakan tugas saja, kita menyontek pekerjaan
orang lain. Lalu, apa yang kita dapatkan? Nilai yang bagus? Nope.
Sekolah tidak melulu soal nilai, kok. Sekolah memiliki tujuan utama untuk
menimba ilmu, bukan mengejar nilai. Ilmu apa yang kita dapatkan? Ilmu
menyontek?
Tugas dikerjakan agar
kita makin memahami topik yang sedang dipelajari. Untuk mempersiapkan diri kita
dalam menghadapi ulangan, dan pada akhirnya ujian akhir negara serta
sekolah.
Kalau dari sesuatu
yang kecil saja kita sudah menanamkan budaya menyontek, akan jadi apa kita
nantinya?
Hidup bukan sebatas
bangku sekolah saja. Beberapa tahun lagi kita akan terjun langung ke
masyarakat. Ke dalam suatu lingkungan di mana hukum rimba berlaku. Siapa yang
lebih kuat, maka dialah yang akan menang.
Lantas, apa kita akan
terus membawa budaya menyontek itu dalam kehidupan kita?
Saat bekerja di
perusahaan nanti, apa kita masih memiliki kesempatan untuk menyontek hasil
karya rekan sekerja kita? Kalau beruntung, mungkin masih bisa. Tapi ada
konsekuensi berat di belakangnya yang harus kita pikul apabila tindakan
tersebut terendus orang yang kita contek atau mungkin orang lain (dan bisa jadi
orang itu adalah atasan kita!). Dunia kerja yang begitu kejam tidak akan
berbaik hati seperti guru kita saat sekolah. Sekalipun kita tidak dipecat, tapi
nama kita sudah terlanjur dicap buruk. Seandainya tidak ketahuan pun, maka kita
akan terus-terusan mencontek sepanjang hidup kita. Mematikan kemampuan kita
sendiri. Mengubur rasa percaya terhadap diri sendiri.
Alasan inilah yang
melatarbelakangi sifat antipati saya tersebut. Perlahan saya mulai berkomitmen
dengan diri saya sendiri untuk tidak lagi terjerumus dalam perangkap menyontek.
Biarlah hasil ulangan atau ujian saya tidak sebagus yang lain. Setidaknya
itulah hasil ukur sejauh mana kemampuan saya. Itulah hasil kerja saya sendiri.
Bukti kepercayaan terhadap diri saya sendiri.
Saya menulis posting ini bukan untuk menghakimi
siapapun. No offense, really. Bukan bermaksud menggurui apalagi sok
suci. Saya mengakui selama ini keinginan untuk memperoleh nilai tinggi sempat
membutakan akal sehat saya.
Lalu kenyataan bahwa kurang dari setengah tahun lagi saya dan teman-teman
seangkatan akan menghadapi ujian akhir seolah menjadi wake up call.
Membuat saya akhirnya berani mengatakan pada diri saya sendiri "Saya tidak
mau menyontek lagi". Dengan mantap, dengan tekad bulat. Semua semata demi
diri saya sendiri. Bukan untuk orangtua saya, guru saya, atau siapapun yang
pernah menasehati saya untuk tidak menyontek.
Mulai sekarang, ayo jadi generasi muda yang percaya
dengan kemampuan diri sendiri. Buang jauh-jauh pemikiran "Nggak ketauan
ini" dan pikiran-pikiran lainnya yang akan menggoda kita untuk menyontek.
Karena percaya deh, menyontek cuma akan membodohi diri sendiri. Untuk apa
memperoleh nilai bagus tapi tidak ada ilmu yang kita dapatkan?
Picture : flickr.com
No comments:
Post a Comment