Beberapa waktu yang lalu, saya sempat terjebak bersama
penumpang Bus TransJakarta lainnya, dalam sebuah perkelahian antara petugas
penjaga pintu bus dengan seorang penumpang. Perkelahian yang seharusnya tidak perlu dan tidak pantas terjadi.
Alasannya sederhana, karena penumpang yang mengaku-ngaku berprofesi sebagai
wartawan tersebut, tidak terima dengan peringatan dari petugas bus.
Keadaan di bus gandeng koridor 1 menuju Kota memang cukup
ramai di bagian belakang. Hal itulah yang menyebabkan ada beberapa pria
yang berdiri di area khusus wanita. Sudah sejak awal si petugas bus
memperingatkan para penumpang pria untuk bergerak ke belakang.
Saat naik bus pertama kali,
sebenarnya saya dan teman saya sempat membicarakan mengenai gaya bicara petugas
bus yang terkesan nyolot.
‘Kalau ada yang tidak senang dengan gayanya, bisa panjang
nih ceritanya.’ Pikiran semacam itu bahkan sempat singgah dalam benak saya.
Benar saja, setelah sekian lama, akhirnya si penumpang naik
darah. Dia berseru gusar kepada si petugas, “Coba saja kamu ke sini. Lihat!
Tidak ada tempat! Bagaimana caranya saya bisa berdiri di sana? Dari tadi saya
perhatikan gaya kamu itu tidak pantas!”
Si petugas tidak mau kalah. Tetap teguh memegang peraturan.
“Kamu tidak tahu siapa saya? Saya ini wartawan! Saya bisa
menulis nama dan gaya kamu ini di tulisan saya!” seru si penumpang untuk kedua
kalinya. Kali ini diiringi protes dari penumpang lain. Kebanyakan menanyakan
kredibilitas penumpang tersebut.
“Wartawan apa gayanya seperti ini?”
“Memangnya kenapa kalau wartawan? Sok banget!”
Bahkan ada juga yang mengatakan, “Wartawan apa? Wartawan
kasus kriminal ya, makanya gayanya seperti itu?”
Hasilnya, banyak penumpang yang semuanya wanita, jadi berada
di sisi si petugas.
Supir bus sampai merasa perlu turun tangan melerai
keduanya. Peringatan lewat pengeras suara yang tidak digubris, membuat si supir
menghentikan laju bus, kemudian memasuki TKP.
Untungnya, perselisihan dapat dihentikan. Mungkin
keduanya akan menyelesaikan unfinished business mereka di halte akhir, seperti
saran dari supir. Entahlah.
Yang dapat saya simpulkan, perkelahian tersebut terjadi karena arogansi profesi dari kedua belah
pihak.
Sebagai petugas bus, dia merasa bisa mengatur penumpang. Memang, apa
yang dilakukannya semata demi menjalankan peraturan, sekaligus menjaga
kenyamanan penumpang. Sayangnya, dengan cara yang memang kurang sesuai. Sebagai
bagian dari usaha jasa, seharusnya dia bisa menyampaikannya dengan cara lebih
baik.
Sementara si penumpang, jelas menyalahgunakan
profesinya untuk sesuatu yang tidak tepat. Memangnya kenapa kalau dia wartawan?
Hanya karena dia bisa membuat artikel atau pemberitaan, lantas dia merasa bisa
melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya? Bahkan sampai menggunakan profesi
sebagai modal ancaman.
Bukankah dengan memuat berita mengenai kejadian tersebut,
justru akan menghancurkan reputasinya? Kecuali kalau dia mengedit beberapa
bagian. Which is, sangat memalukan untuk dilakukan oleh seseorang berprofesi
seperti yang dia bangga-banggakan.
Profesi adalah tanggung jawab, bukan sesuatu yang perlu
dibangga-banggakan atau bahkan dimanfaatkan untuk hal-hal tertentu. Untuk
alasan apapun, memanfaatkan persepsi yang mungkin sudah terbentuk dalam
masyarakat karena profesi yang dijalani, sungguh merupakan tindakan pengecut,
kekanakan, dan memalukan.
Profesi seharusnya diisi dengan prestasi, bukan arogansi.
Picture: pinkpastels.tumblr.com