27 May 2012

Uncertainty



Saya benci segala sesuatu yang mengandung unsur ketidakpsatian. Mulai dari teman-teman yang memberi jawaban tidak pasti saat diajak hangout, dosen yang tidak bisa dipastikan kedatangannya, hal-hal semacam itu.

Uncertainty drives me crazy. Banyak hal yang terjadi tidak sesuai dalam perencanaan atau bayangan saya karena ketidakpastian.
Ketidakpastian merupakan daerah perbatasan antara harapan dan kekecewaan. Kalau terjadi, maka harapan kita terkabul. Tapi kalau tidak, kekecewaan lah yang didapat. Lebih sering kemungkinan kedua yang terjadi. Misalnya pun terjadi, kita sudah terlanjur kesal karena harus terombang-ambing dalam ketidakpastian dalam jangka waktu tertentu.
Bayangkan saja dirimu sedang melakukan pendekatan sebelum terlibat dalam sebuah hubungan. Ketidakpastian pasti lebih banyak berakhir pahit, bukan begitu? Kalau akhirnya terjadi kenaikan pangkat dari calon pacar menjadi pacar, lucky you. Tapi kalaupun demikian, akan timbul berbagai pertanyaan dan keraguan, seperti "Dia cukup lama menggantung hubungan kita, apa dia benar-benar serius?" atau "Apa sih maksudnya membiarkan gue menunggu sekian lama dalam ketidakpastian?" dan sebagainya.
Kenapa tidak bilang saja 'ya' di saat kita tahu kita sanggup membuat sesuatu menjadi kenyataan? Atau 'tidak' dalam kondisi sebaliknya. Jangan memberi harapan palsu. Jangan mengumbar janji yang kita tahu tidak bisa kita tepati. Kalau belum yakin, sampaikanlah kemungkinan terburuk. Misalnya, kalau belum tahu bisa datang atau tidak ke acara ultah teman, sampaikan saja dulu tidak bisa. Kalau pada akhirnya kita bisa datang, setidaknya hal tersebut bisa menjadi kejutan manis. Coba saja jika dari awal kita sudah sok yakin mengataka bisa, tapi malah tidak datang pada hari H? Bukannya kita akan semakin mengecewakan teman kita tersebut?
Singkatnya, ketidakpastian bukanlah sesuatu yang dapat membuat seseorang merasa nyaman. Kalau kita tidak mau terjebak dalam ketidakpastian, mulailah dari diri kita masing-masing untuk menjaga agar jangan sampai orang lain di sekitar kita terjebak dalam hal yang sama akibat ulah kita.
Picture : citiesinflames.tumblr.com

23 May 2012

Menunggu Bus



Entah kenapa saya suka sekali menganalogikan hal-hal sederhana yang saya temui setiap hari dengan hal lain yang jauh lebih kompleks.

Termasuk kali ini. Sebuah perenungan tiba-tiba saja muncul dalam kepala saya saat sedang menunggu bus TransJakarta.

Belakangan ini saya terpaksa pulang kuliah sendiri (tidak lagi dijemput), dan alat transportasi publik yang paling murah, praktis, aman dan nyaman (?) bagi saya adalah bus TransJakarta.

Menurut saya, menunggu bus TransJakarta itu bisa dianalogikan seperti saat kita sedang menanti sebuah kesempatan.

Tidak seperti di negara lain yang teknologinya jauh berkembang pesat, di negara ini, kita tidak bisa menebak kapan bus yang seharusnya kita naiki tiba di halte. Sama seperti kesempatan. Kita tidak tahu kapan datangnya. Tiba-tiba saja kesempatan itu sudah muncul di depan mata, menanti untuk diraih atau dilepaskan.

Kalau kita tidak bergegas, kita bisa saja ketinggalan bus yang seharusnya kita naiki, dan terpaksa menunggu bus berikutnya, yang tidak diketahui apakah akan tiba sebentar lagi atau memakan waktu cukup lama . Sama seperti kesempatan. Terlalu banyak pertimbangan saat memutuskan akan mengambil atau melepas sebuah kesempatan, bisa jadi kesempatan itu malah berlalu begitu saja.

Di saat sedang tidak diburu waktu, kita bisa melewatkan beberapa bus yang penuh sesak, dan memilih untuk menunggu sampai bus yang tidak terlalu penuh (atau bahkan kosong sama sekali) tiba. Sama seperti kesempatan. Mungkin saja kita mendapat beberapa kesempatan dalam waktu berdekatan. Tapi tidak semua kesempatan itu merupakan kesempatan yang tepat bagi kita. Semua indah pada waktunya. Pintar-pintar mengambil keputusan apakah harus menunggu atau langsung mengambil kesempatan yang ada akan membuat kita terbebas dari perasaan menyesal di kemudian hari.

Kalau kita tidak tahu dengan pasti ke mana arah tujuan kita, besar kemungkinan kita salah menaiki bus yang rutenya tidak sesuai. Sama seperti kesempatan. Kalau kita tidak tahu apa tujuan hidup kita, atau apa yang ingin kita capai, kita akan ‘membabi buta’ dalam mengambil kesempatan. Kesempatan yang tidak sesuai pun akhirnya ikut terambil, dan bisa-bisa membawa kita semakin jauh dari tujuan awal kita.

Menunggu bus TransJakarta memerlukan ekstra kesabaran dan harapan yang besar. Harapan bahwa bus yang kita tunggu akan segera datang. Harapan bahwa kita pada akhirnya akan sampai di tempat tujuan kita‒tidak peduli memakan waktu singkat atau panjang. Sama seperti kesempatan. Kita harus bisa sabar menantinya, dan terus memiliki pemikiran optimis bahwa bila waktunya tepat, maka kesempatan itu akan datang menghampiri kita. Kesempatan yang tepat, di waktu yang tepat, dan dengan hasil yang sesuai tujuan kita.

Picture: somethingspecial3.tumblr.com

19 May 2012

Merayakan Perubahan



Akhir minggu lalu, saya akhirnya memiliki kesempatan untuk hang out bersama sahabat-sahabat saya dari SMP, setelah berkali-kali gagal karena kesibukan masing-masing. Meskipun hanya berempat dari total delapan sahabat dekat (yang semuanya adalah perempuan), kami menghabiskan waktu dengan obrolan santai seputar keadaan masing-masing, dan tentunya bernostalgia mengenang saat-saat tak terlupakan semasa SMP.
Sampai akhirnya kami sampai pada topik sederhana yang berhasil membuat saya tersadar akan satu hal.
Saat masih sama-sama menjadi siswi SMP, delapan dari kami memiliki warna favorit yang berbeda-beda. Warna favorit saya pink, sementara tiga sahabat yang lain hijau, merah, dan oranye. Namun sekarang, saya beralih jadi menyukai warna merah. Ketiga sahabat saya juga sseolah tidak mau ketinggalan. Mereka beralih menjadi pink, kuning, dan pink. Padahal saya ingat betul, dua dari sahabat saya itu seringkali meledek saya karena menyukai warna pink, bahkan sampai memberi nickname Pinky Girl.
Lucu, bagaimana waktu terus bergulir, terkadang tanpa kita sadari ritmenya. Ada banyak hal yang terus berubah dalam kehidupan kita, pun pula dalam kehidupan orang-orang di sekitar kita. Karena perubahan adalah hal yang pasti selalu terjadi di dunia ini. Seberapa kuatnya kita menyangkal, tetap ada perubahan dalam diri kita, dalam hidup kita. Entar perubahan yang paling sederhana seperti yang terjadi pada saya dan sahabat-sahabat saya dari sisi warna favorit, sampai yang paling kompleks.
Tapi saya bersyukur, karena meskipun dari segi selera saya dan sahabat-sahabat saya sudah berubah, tapi sifat mendasar kami masih sama dengan yang terakhir melekat dalam ingatan satu sama lain. Saya dengan karakter meledak-ledak dan sarkastis, ada pula yang lebih banyak mendengarkan dan sesekali ikut menimpali, ada yang polos dan meghadirkan tawa karena kepolosannya itu, juga yang ceplas-ceplos dalam menyatakan apa yang dipikirkannya. Meskipun berubah dalam banyak hal, kami masih bisa menyesuaikan diri seperti beberapa tahun yang lalu. Kami masih bisa mengenali satu sama lain, masih bisa menghabiskan waktu bersenang-senang bersama dengan cara kami sendiri.
Karena itulah inti dari perubahan. Manusia berubah, tapi mereka juga memiliki kemampuan untuk terus menyesuaikan diri.
Jangan sampai kepentingan untuk berubah menjadi sosok yang lebih baik mengikis identitas asli kita. Membuat orang lain yang dekat dengan kita sampai bisa berkata "Gue udah nggak kenal lagi sama dia. Terlalu banyak yang berubah, sampai-sampai gue merasa dia bukan lagi seperti orang yang gue kenal dulu."
Picture : noraskindofphotography.tumblr.com

13 May 2012

Bisa Karena Biasa



Tepat satu hari setelah Blackberry Curve 8520 genap dua tahun menemani saya, smartphone tersebut malah hilang karena kelalaian saya. Sudah dua kali saya kehilangan ponsel karena terjatuh.

Anggap saja saya sedang iseng beranalogi.

Kehilangan Blackberry sama halnya dengan putus cinta. Kok bisa?

Selama ini, saya selalu berpikir bahwa BB saya adalah segalanya. Hampir semua hal bisa saya lakukan dengannya, mulai dari berhubungan dengan orang-orang di sekitar saya, meng-update social media, memperoleh banyak informasi dan berita lewat layanan internet, menyimpan kenangan dalam bentuk foto, mendengarkan lagu, menonton video, mengirim e-mail yang berhubungan dengan pekerjaan dan tugas sekolah/kuliah, mencatat ide-ide yang tiba-tiba muncul dalam pikiran, curhat, dan berbagai manfaat lainnya.

Asal ada BB, menunggu berjam-jam pun tidak masalah karena setidaknya saya masih bisa menghabiskan waktu dengan mengutak-atiknya. BB lowbatt dan tidak bisa mengisi ulang baterai saja bisa membuat saya kelabakan. Saya merasa ada yang kurang kalau sehari saja tidak menyentuh BB. Ya, secara tidak sadar saya sudah terkena sindrom Crackberry. Jadi begitu BB saya hilang, jelas saja saya sedih. Tapi perasaan sedih itu semakin lama semakin berkurang. Saya jadi mulai terbiasa menjalani hari-hari saya tanpa BB. Tidak menyentuh BB tidak lagi menjadi perkara besar.

Sama seperti saat putus cinta. Sebelumnya kita merasa kita tidak bisa hidup tanpa orang yang kita cintai. Selama ini kita selalu mengandalkannya, terbiasa berada di dekatnya. Tapi nyatanya, kita bisa tetap bertahan hidup tanpa orang itu. Sebagai manusia yang  sangat dipengaruhi perasaan, tentu pada awalnya kita akan merasa sedih dan kehilangan. Namun hal tersebut tidak akan permanen. Perlahan tapi pasti, rasa sakit itu semakin berkurang. Sampai akhirnya kita tiba pada fase di mana kita bisa baik-baik saja tanpanya. Terbiasa tidak lagi berada di sisinya.

Dari analogi tersebut, terdapat satu benang penghubung.

Terbiasa.

Peribahasa “Allah bisa karena biasa” memang bukan sekedar kata-kata. Manusia cenderung takut melakukan atau mengalami sesuatu yang tidak biasa mereka lakukan atau alami. Seolah sudah ada stigma yang menjamin, kita hanya bisa melakukan apa yang biasa kita lakukan. Padahal justru stigma itu yang menjadi tembok pembatas. Kita bisa melakukan apa saja, asalkan kita mau membuat diri kita terbiasa.

Beri kesempatan diri kita untuk mencoba melakukan sesuatu di luar kebiasaan kita (yang positif tentunya). Then you will see what you’re capable of.

Picture : meme.yahoo.com

11 May 2012

You Reap What You Sow



Saya dan ibu saya beberapa kali membahas tentang hal ini: Kenapa orang-orang sering mengatakan, kalau orangtuanya melakukan hal buruk, maka akan dibalaskan kepada anak mereka?

I don’t get it. Kenapa seorang anak yang notabene tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh orangtua mereka, harus menanggung apa yang semestinya tidak mereka tanggung?
Contohnya, pernah terjadi kasus pembunuhan siswa SMA di sebuah tempat hiburan di bilangan Jakarta Selatan. Banyak orang berspekulasi bahwa ini adalah karma, karena belasan tahun lalu, orangtua korban pernah melakukan pembunuhan keji, lantas anaknya kini tewas dibunuh oleh orang lain.
Yang membunuh itu orangtuanya, kan? Bukan si anak. Si anak mungkin malah tidak mengetahui apa yang pernah diperbuat orangtuanya dulu.
Pandangan miring lain yang sayangnya terlanjur berkembang di masyarakat adalah  ketika seorang anak dilahirkan dalam keadaan cacat atau tidak sempurna. Disebut-sebut kalau itu karena ulah orangtua mereka yang semasa hidupnya tidak berperilaku baik. Saya sama sekali tidak melihat ada hubungan di antara keduanya.
Saya akan jauh lebih setuju, kalau karma itu berlaku terhadap yang bersangkutan, bukan terhadap orang-orang yang dia sayangi. Siapa yang menabur, maka dia yang akan menuai. Saya meyakini hal itu. Kalau orangtuanya yang menabur kejahatan, maka mereka jugalah yang harus menuai akibatnya. Kasihan sekali si anak kalau harus dijadikan semacam ‘tumbal’.

Opini singkat saya ini sebenarnya bertujuan untuk mengingatkan, bahwa karma itu akan diterima oleh semua orang. Tapi yang perlu diperhatikan, karma tidak ada hubungannya dengan orang-orang yang kita sayangi.

Kalau kita berbuat baik, maka kita sendirilah yang akan menuai hasil yang baik. Sebaliknya, kalau kita melakukan hal buruk, jangan menyesal jika di kemudian hari, kita akan terkena ‘batunya’. 

Picture : flickr.com

09 May 2012

Azas Kebutuhan



Disadari atau tidak, ada saat di mana kita sudah lama tidak berkomunikasi dengan seseorang, tapi kemudian kita kembali menghubungi orang tersebut. Bukan karena bermaksud untuk menanyakan kabar mereka, melainkan karena kita sedang membutuhkan bantuan mereka. Atau mungkin orang lain yang melakukan hal serupa kepada kita.

Di saat orang tersebut sedang membutuhkan pertolongan kita, terlebih kalau kita adalah satu-satunya orang yang bisa dimintai tolong, mereka rela mengekor kita ke mana pun. Mereka tidak bosan-bosannya menghubungi kita. Tapi begitu mereka sudah tidak lagi membutuhkan pertolongan kita, woosh, mereka menghilang begitu saja bagai ditelan bumi. Meninggalkan kita sendirian dengan perasaan seperti barang bekas yang dibuang setelah tidak lagi diinginkan atau diperlukan oleh pemiliknya.

Their first priority is their own goods. No sincerity at all. Segala bentuk kebaikan dan kemanisan dengan embel-embel motif di baliknya. Semata-mata karena azas kebutuhan.
Karena azas kebutuhan pula lah, musuh bebuyutan sekalipun bisa melupakan rasa benci mereka di saat benar-benar terjepit dalam situasi penuh urgensi. Tidak perlu munafik atau sok idealis. Di saat normal kita bisa saja mengatakan “Gue nggak akan pernah minta tolong sama dia”. Tapi lain halnya apabila kita sedang terjepit suatu permasalahan, dan kebetulan hanya orang itu yang bisa dimintai tolong.

Setiap manusia memang memiliki kecenderungan untuk menomorsatukan dirinya. Untuk membuat dirinya terlihat paling cemerlang, untuk membuat dirinya merasa nyaman dan aman. Tapi bukan berarti kita bisa mengorbankan orang lain demi kecenderungan tersebut. Sama sekali bukan excuse yang pantas.

Berbuat baik pada orang lain harusnya dilandasi dengan ketulusan, bukan karena orang itu bisa memberikan keuntungan bagi kita.

Berteman dengan seseorang bukan karena pemikiran “Ah, dia kan pintar, lumayan gue bisa nyontek jawaban tugas”, tapi karena kita memang merasakan chemistry dengan orang tersebut.

Tanpa bermaksud menggurui, hanya pemikiran pribadi. Kalau kita berbuat baik dengan tulus tanpa mengutamakan kepentingan pribadi, percayalah kalau kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Jadi, jangan lagi menghubungi teman lama yang sudah jarang berkomunikasi hanya karena kita butuh bantuan darinya, tapi karena kita memang benar-benar tulus kangen padanya dan ingin tahu bagaimana keadaannya.

Picture : facebook.com