23 June 2011

I Know It's Kinda Late, but Happy Birthday



Ulang tahun Jakarta memang telah berlalu, karena keterbatasan waktu saya tidak bisa memposting opini saya ini tepat pada harinya. Tapi terlambat satu hari lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan?

Tahun ini Jakarta genap berusia 484 tahun. Wow! Sebuah usia yang fantastis. Membutuhkan perjuangan luar biasa untuk mempertahankan kota ini selama sekian ratus tahun. Belum lagi dengan predikat sebagai ibu kota yang disandang.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, tentunya saya memiliki segudang pengalaman dengan kota ini. Mulai dari kenangan masa kecil yang begitu manis, sampai kejadian-kejadian yang membuat emosi membuncah.

Selama ini orang-orang terus mengeluh. Kemacetan, banjir, polusi, kriminalitas, kepadatan penduduk adalah beberapa masalah utama Jakarta. Tapi apa gunanya terus-menerus mengeluh tanpa melakukan apapun? Kita lah yang menjadi penyebab utama masalah-masalah tersebut. Bukan Jakarta yang salah, karena pada kenyataannya Jakarta tidak memiliki daya apapun untuk menyusahkan warganya. Kita lah yang menyusahkan diri kita sendiri, dan orang lain yang juga menjadi pengisi kota ini.

Lantas apa yang kemudian kita lakukan? Mengeluh sambil bertopang dagu? Mengadukan jeritan hati tanpa sadar kita semakin memperburuk keadaan?

Mungkin kebanyakan dari kita akan melemparkan tanggung jawab kepada para pembesar negara dan kota. Jakarta adalah ibu kota negara, sudah selayaknya mendapatkan treatment khusus. Karena banyak pusat pemerintahan yang berhubungan dengan luar negeri berada di kota ini. Karena banyak investor asing yang menanamkan modalnya pada perkantoran yang menjulang di kota ini. Karena Jakarta akan terus disorot, baik oleh seluruh penduduk Indonesia, maupun penduduk dunia.

Kalau saja pemda (pemerintah daerah) mau menggunakan dana yang tersedia sebagai mestinya, maka sarana dan prasarana Jakarta akan bisa disandingkan dengan ibu kota negara lain yang telah terlebih dulu sukses. Tapi semuanya itu percuma saja tanpa dukungan dan kerja sama dari kita sebagai penghuninya.

Mari kita ambil salah satu contoh. Pemda sudah menyediakan transportasi senyaman TransJakarta. Namun siapa yang membuatnya menjadi tidak nyaman? Semuanya kembali kepada para penggunanya, kepada para pengurusnya. Kalau saja kita mau tertib mengantri, mau tertib membuang sampah di tempatnya, mau terus waspada terhadap tangan-tangan jahil, maka kita akan merasakan kenyamanan transportasi massal tersebut. Kalau saja pengurusnya mau memeriksa kesiapan kendaraan secara berkala, mau menerapkan sistem yang lebih baik, mau menomorsatukan kepuasan konsumen, maka tidak akan ada kecelakaan atau malapetaka lainnya.

Coba kita berkaca, kenapa kendaraan semacam TransJakarta di negara lain bisa dimanfaatkan dengan baik? Bisa terasa nyaman dan aman? Jawabannya hanya satu :sumber daya manusia yang berkualitas, tertib, dan sudah siap menjadi dewasa seutuhnya.

Pertanyaannya, apa kita sudah siap menjadi penduduk yang dewasa seutuhnya? Seharusnya kita sebagai warga Jakarta ikut bertumbuh bersama kota ini. Teknologi semakin berkembang pesat. Kalau kita tidak bisa mengiringinya dengan perkembangan mental kita, maka sia-sialah sudah.

Kita bisa memperbaiki keadaan kota kita tercinta mulai dari diri kita sendiri. Tertibkan diri kita masing-masing. Selalu buang sampah di tempatnya. Sekarang ini tempat sampah sudah mudah ditemui di berbagai lokasi. Peka terhadap keadaan di sekeliling kita. Budayakan antri. Walau mungkin kata-kata ini terdengar kolot sekali, tapi memang inilah yang menjadi sifat jelek yang telah mendarah daging bagi sebagian besar warga Jakarta (atau Indonesia?).
Saya yakin, jika kita sudah bisa menjadi dewasa seutuhnya, maka Jakarta pun tidak akan kalah majunya dengan kota-kota lain di dunia. Saya percaya, dengan ketertiban yang dimulai dari tiap-tiap individu, Jakarta dapat tumbuh menjadi contoh yang baik sekaligus menjadi motivasi bagi kota-kota lain di Indonesia.


Selamat ulang tahun kotaku tercinta, Jakarta!
Selamat bertumbuh menjadi dewasa, warga Indonesia!

Dok : baliin-donesia.info | private collection

18 June 2011

Biru Tak Selamanya Air Mata



Selama ini, orang sering mengaitkan biru dengan kesedihan.

Blue = mellow.

Padahal tidak selamanya harus begitu. Biru dapat melambangkan banyak hal bail yang justru dapat membuat kita tersenyum.

Biru itu... langit


Coba sekali-sekali sempatkan menatap langit setelah bangun tidur. Pikirkan betapa beruntungnya kita masih diberikan kesempatan untuk bisa menjalani satu lagi hari baru. Bahwa masih ada langit yang begitu indah membentang di atas sana. Begitulah cara simple untuk bersyukur. Untuk menghargai waktu yang masih diberikan oleh Sang Pencipta. Untuk membuat hari baru menjadi bermakna.

Biru itu... laut


Tidak perlu menunggu libur panjang. Beberapa jam pun sebenarnya cukup untuk mengentaskan rasa jenuh yang melanda. Beristirahatlah sejenak di pantai. Rasakan halus butiran pasirnya. Nikmati kilauan biru lautnya. Atau kalau memungkinkan, kita bisa menjernihkan pikiran dengan berenang.

Biru itu... Doraemon


Ada saja bantuan yang tak pernah jemu diberikan oleh robot kucing satu ini. Sifat dasarnya yang periang dan suka menolong membuat siapa saja akan nyaman menjadi sahabatnya. Meskipun kita tidak bisa bertemu langsung dengan Doraemon, tapi kita bisa melihat pengalamannya bersama sahabat-sahabatnya lewat layar kaca setiap hari Minggu.

Biru itu... Facebook


Masih perlukah penjelasan kenapa jejaring sosial yang identik dengan desainnya yang serba biru ini bisa membuat kita bahagia? Coba kirim wall sekedar untuk menyapa atau bertukar cerita dengan teman yang jarang kita sapa di dunia nyata. Bisa pula dengan melihat-lihat koleksi foto dan video kita atau teman. Hal-hal sesimple itu biasanya sangat ampuh untuk membuat bibir kita tertarik membentuk seuntai senyum.

Biru itu... sapphire


Diamonds are a girl's bestriend. Tidak perlu muluk-muluk membeli bahkan sampai mengoleksinya. Minta saja bantuan Mr. Google untuk menemukan gambar-gambar blue stone ini. Mungkin sekarang kita memang belum bisa melihatnya secara langsung, tapi setidaknya dengan melihat gambarnya pun kita sudah bisa terhibur.

Warna biru terkenal sebagai lambang ketenangan. Jika kita sedang diliputi tekanan, pandangilah berbagai benda berwarna biru. Mengganti wallpaper komputer dengan gambar berdominasi warna biru juga bisa menjadi pilihan yang tepat.

Pictures : polyvore.com | favim.com 2 | picsandquotes.com | charissetish.tumblr.com | bellanaija.com | cameo-appearances.tumblr.com

16 June 2011

Finish Line



"When we were five, they asked us what we wanted to be when we grew up. Our answers were things like astronaut, president, or in my case, a princess. When we were ten, they asked again. We answered rock star, cowboy, or in my case, a gold medalist. But now that we've grown up, they want a serious answer. Well, how about this 'Who the hell knows?'. This isn't the time to make hard and fast desicions. This is the time to make mistakes. Take the wrong train and get stuck somewhere. Fall in love, a lot. Major in philosophy, because there's no way to make career out of that. Change your mind, and change it again, because nothing's permanent. So make as many mistakes as you can. That way, someday, when they ask what we want to be, we won't have to guess. We'll know."

Saya sudah jatuh hati pada pidato Jessica Stanley ini bahkan sejak pertama kali menonton Twilight Saga : Eclipse.

Pidato yang tanpa basa-basi, tanpa ukiran kata-kata indah seperti yang lazim digunakan orang-oran, tapi begitu mengena. Begitu nyata.

Saya ingat betul ketika masih kanak-kanak, orangtua, guru, atau orang lain sering menanyakan pertanyaan yang kurang-lebih sama "Kalau sudah besar nanti ingin jadi apa?". Dan saya juga masih ingat dengan jawaban-jawaban yang saya berikan. Dokter, guru, artis, pahlawan pembela kebenaran (saat itu masih jamannya Sailormoon), peramal (yang ini jujur membuat saya selalu tidak habis pikir), interior designer, psikolog, business woman, sampai pada akhirnya akuntan publik sekaligus penulis.

Saat masih di bawah usia 10 tahun, profesi dokter, guru, pilot, presiden, astronot, dan yang lainnya akan menjadi profesi yang begitu menarik, begitu dikagumi dan didambakan. Namun semakin kita tumbuh menjadi dewasa, kita mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain, sampai kemudian kita mencapai satu titik di mana kita dapat berkata "Saya tau apa yang menjadi cita-cita saya." Ada yang tetap dengan pilihan awal, namun tak sedikit yang berubah. Semua akan menjadi lebih realistis, karena kita sudah menyadari kemampuan dan ketertarikan kita.

Apapun cita-cita kita, berbahagialah kalau kita sudah menemukannya. Bagi yang belum kunjung menemukan apa sebenarnya cita-cita kalian, bergegaslah. Pikirkan saja profesi apa yang membuat kita tidak akan merasa bosan dan lelah jika harus menjalaninya setiap hari selama sisa hidup kita. Gali potensi diri, and find what we're capable of.

Karena hidup tanpa cita-cita itu bagaikan berjalan dalam kegelapan tanpa ada cahaya setitik pun. Tanpa cita-cita, manusia akan hidup terombang-ambing, tanpa tujuan jelas. Cita-cita itu krusial. Patut dimiliki sebagai pedoman. Sebagai sebuah finish line bagi atlet lari, sebuah gawang bagi pemain sepak bola.

Tapi tahu saja belum cukup. Tugas terberat justru adalah mendapatkan keberanian dan motivasi untuk memperjuangkan cita-cita tersebut. Untuk memacu diri agar semakin dekat dengan semuanya itu.


Dan dalam perjalanan mendekat ke arah cita-cita itu, ada banyak sekali rintangan. Akan ada banyak kesalahan yang kita buat. Bahkan jauh sebelum itupun, kita berkali-kali melakukan kesalahan dengan keliru menetapkan cita-cita, juga tidak kunjung menemukan dorongan untuk mewujudkannya.

Kesalahan demi kesalahan. Wajar, bisa dipahami. Karena dengan melakukan kesalahan, kita belajar untuk menemukan mana yang benar. Untuk tidak mengulangi apa yang seharusnya tidak kita lakukan di kemudian hari.

Namun bukan berarti hal tersebut dapat dijadikan excuse untuk terus-menerus berbuat salah. Akan ada waktunya, suatu hari nanti, kita bisa dengan mantap mengatakan "Saya telah mendapatkan apa yang saya inginkan dan apa yang saya buruhkan. Yang terbaik untuk diri saya. Yang terbaik dari diri saya".

Akan ada saatnya, entah kapan, kita bisa menceritakan kepada orang lain, atau mungkin anak-cucu kita, bahwa kita telah berhasil meraih cita-cita kita. Dan bahwa cita-cita yang kita tentukan selagi muda dulu memanglah yang terbaik. Bahwa kita banyak membuat kesalahan, tapi masa itu telah berakhir. Kita sudah belajar. Kita sudah memahami.

“Berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia.” – Andrea Hirata (Sang Pemimpi)

Pictures : fuckyeahtwilight.tumblr.com | nowcatholic.com